- Pelajaran dari Skandal Iran-Contra
- Kota, Big Data dan Akal Imitasi
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
SALAH satu momen menarik saat deklarasi pasangan calon presiden (capres) Anies Baswedan dan calon wakil presiden (cawapres) Abdul Muhaimin Iskandar di Hotel Majapahit, 2 September 2023, adalah saat Anies menutup pidatonya dengan salam khas nahdliyin ''Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq''. Suaranya pas, fasih, lancar, tidak dibuat-buat.
Sebaliknya, salam serupa juga pernah diucap oleh seorang pejabat publik negeri ini ketika berlangsung peringatan Satu Abad NU di Sidoarjo, 7 Februari 2023. Bedanya, sang pejabat tak fasih mengucap salam penutup khas NU ini. Ucapannya terdengar salah plus belepotan yang lantas memantik sorotan publik.
Kefasihan mengucap salam penutup menjadi pertanda kekhidmatan sang pengucap. Ia khidmat pada tradisi, ia tahu kebiasaan yang sudah menyejarah, ia paham kenapa salam perlu diucapkan. Salam penutup tentu bukan kalimat sembarangan dan tak sembarang orang bisa fasih berucap salam penutup.
Jika seseorang tak terbiasa dengan tradisi serta budaya dari sebuah komunitas, maka bisa dipastikan yang bersangkutan bakal kikuk atau grogi. Sulit beradaptasi. Susah habituasi. Tidak terbiasa, malah jadi merasa terpaksa. Sebaliknya, jika sudah terbiasa, maka mudah beradaptasi, cepat berhabituasi. Bergaul tak lagi bersekat.
Boleh dikata, ia cair menjadi bagian tradisi Ahlul Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang sangat kental di NU, wabil khusus di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam budaya santri ini, mengucap salam atau menutup pertemuan dengan salam, tersirat di dalamnya adalah doa. Bukan cuma doa bagi pengucap, melainkan doa teruntuk siapapun yang hadir dalam pertemuan.
Kefasihan Anies berucap salam penutup khas NU merupakan pertanda, bahwa ia benar-benar menghayati tradisi Aswaja. Tradisi yang sudah mengakar dalam masyarakat santri di nusantara. Ketika mengucap salam penutup itu, sama sekali tak terlihat Anies kikuk apalagi grogi. Ucapannya lancar, dengan intonasi suara khas.
Salam penutup khas NU bermakna ''Allah adalah Dzat yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya''. Diciptakan ulama kharismatik asal Kendal, KH Ahmad Abdul Hamid. Melalui salam ini, baik pengucap maupun hadirin atau penerima surat selalu mengharap petunjuk dari Allah. Selain juga, melalui salam penutup ini terjalin keakraban antara pengucap dan penerima salam.
Anies sendiri sebenarnya sudah akrab dengan tradisi Aswaja sejak ia menjadi santri di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, saat SMP. Bagi santri, mengucap salam penutup merupakan keharusan usai berbicara resmi di podium. Harapannya, selalu ada petunjuk dari Allah usai memberi ceramah atau paparan sehingga menjadikan suasana penuh religiusitas. Ini khas santri.
Tradisi lain dalam jagat santri adalah sanad keilmuan. Sanad ini selalu dijaga sepanjang hayat. Di bawah asuhan Kyai Hamam Dja'far di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, maka sanad keilmuan Anies terhubung pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Pondok Modern Gontor. Karena Kyai Hamam Dja'far merupakan alumni Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Pondok Modern Gontor.
Diantara senior Anies di Pondok Pesantren Pabelan adalah Komaruddin Hidayat, pakar kajian sufi dan keislaman, Bahtiar Effendy, pakar politik dan sejarah keislaman, serta Jamhari Ma'ruf, pakar kajian Islam dan Timur-Tengah.
Melalui sanad plus tradisi keilmuan santri, mereka berhasil mengembangkan sikap tasamuh (toleransi), tawazun (berimbang) dan tawasuth (memposisikan diri di tengah-tengah) dalam kebhinekaan keindonesiaan disertai keteguhan hidup. Sebagaimana intelektual Indonesia Nurcholish Madjid suatu ketika berujar, bahwa pangkal keteguhan hidup adalah sikap percaya kepada Allah dan baik sangka, harapan dan positif kepada-Nya.
*) Periset di Surabaya
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Pelajaran dari Skandal Iran-Contra
- Kota, Big Data dan Akal Imitasi
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga