Artificial Intelligence dan Makrifatullah

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

DALAM era kemajuan teknologi yang luar biasa pesat, termasuk hadirnya artificial intelligence (AI), penting bagi umat Islam untuk menegaskan bahwa tidak ada satu hal pun yang berada di luar kehendak dan kendali Allah SWT. 

Segala sesuatu yang tercipta di alam semesta, baik material maupun nonmaterial, merupakan bagian dari rencana ilahiah. Maka dari itu, menganggap AI sebagai kekuatan yang otonom atau bahkan superior, adalah kesalahan fundamental dalam pandangan tauhid. Kalimat la hawla wa la quwwata illa billah menegaskan bahwa segala kekuatan semata berasal dari Allah, bukan dari teknologi, apalagi AI.

Pengetahuan tertinggi bagi seorang Muslim bukanlah sekadar intelektualitas atau informasi teknologi, melainkan makrifatullah, pengenalan mendalam terhadap Allah yang menjadi sumber segala ilmu. Dari sinilah kita harus memulai setiap pembicaraan tentang AI. Kecanggihan AI tak boleh membutakan umat Islam dari kenyataan bahwa yang sejati bukanlah kecerdasan buatan, melainkan akal yang diberi cahaya oleh makrifat.

Penting untuk memahami bahwa AI bukanlah artificial 'aql (akal buatan). AI hanya menjalankan perintah dan algoritma berdasarkan data serta statistik. Ia tidak memiliki akal dalam pengertian filsafat Islam, karena akal tidak hanya berfungsi sebagai alat berpikir, tetapi juga sebagai sumber kebijaksanaan yang dituntun oleh wahyu dan hati nurani. 

Ketika manusia berhenti menggunakan akalnya dan justru mengkhianati kecerdasannya dengan mengikuti hawa nafsu, maka ia bukan hanya menjadi tidak relevan di tengah persaingan teknologi, tetapi juga kehilangan kemuliaannya sebagai khalifah di bumi.

AI menghasilkan keputusan berdasarkan rasionalitas matematis. Ia netral terhadap moralitas. Namun, manusia diberi potensi untuk mengembangkan kebijaksanaan. Maka dari itu, manusia yang tidak menggunakan kebijaksanaan dan akalnya dengan benar, akan dengan mudah tergantikan oleh sistem AI karena kalah dalam hal efisiensi dan konsistensi. Akan tetapi, manusia tetap unggul dalam satu hal yang tidak dimiliki AI: potensi spiritualitas dan kemampuan untuk memaknai serta bertanggung jawab secara moral.

Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah, pemimpin yang memakmurkan bumi dengan etika dan tata nilai yang bersumber dari wahyu. Seorang Muslim tidak diawasi oleh kamera pengawas atau sensor digital, tetapi oleh Allah SWT. Maka, pengembangan dan penggunaan teknologi, termasuk AI, harus selalu ditempatkan dalam kerangka pengabdian dan ketaatan kepada-Nya.

Muslim yang paham posisinya akan menggunakan teknologi sebagai alat, bukan sebagai bingkai yang mendikte eksistensinya. Seorang Muslim tidak dibingkai oleh teknologi, tetapi justru membingkai dan mengarahkan teknologi agar selaras dengan misi kenabian: menebar kasih sayang, keadilan, dan kemakmuran. Dalam konteks ini, AI bukan ancaman, melainkan katalis untuk memaksimalkan potensi kemanusiaan selama ia dikendalikan dengan hikmah.

Sayangnya, narasi yang berkembang saat ini sering kali merupakan pembingkaian yang salah. Ketakutan terhadap AI seringkali dimanipulasi oleh kekuatan korporasi besar yang menggunakan teknologi bukan untuk kemaslahatan, tetapi untuk akumulasi kekuasaan dan kapital. Maka yang harus diwaspadai bukanlah AI itu sendiri, tetapi struktur kepemilikan dan kepentingan ekonomi-politik yang mengendalikannya. Ini bukan konspirasi. Ini realitas yang bisa ditelusuri dari sistem monopoli, pasar saham, dan model bisnis kapitalistik yang jauh dari nilai-nilai ilahiah.

Ketika manusia menyerahkan kendali moralnya dan membiarkan dirinya dibingkai oleh narasi ketakutan, ia akan menjadi korban dari teknologi yang seharusnya ia arahkan. Sebaliknya, ketika manusia sadar akan posisinya sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, ia akan menolak untuk menjadi "another brick on the wall" seperti yang dikritik oleh Pink Floyd. 

Heidegger pun memperingatkan bahwa modernitas cenderung mereduksi manusia menjadi sekadar data, sekadar angka. Padahal manusia diciptakan untuk mengelola, bukan untuk ditakuti atau ditundukkan oleh ciptaan lainnya.

Dalam Islam, segala sesuatu yang memberi manfaat atau mudharat hanya terjadi dengan izin Allah. Maka rasa takut terhadap AI yang berlebihan bukan hanya keliru secara epistemologis, tetapi juga berbahaya secara teologis. Ketika seorang Muslim takut pada ciptaan, itu menunjukkan lemahnya tauhid dan hilangnya rasa percaya kepada kehendak Allah. Takut pada ciptaan bisa berarti memprotes keputusan ilahi, seolah-olah Allah tidak mengatur ciptaan-Nya dengan hikmah.

AI, sebagaimana makhluk lain seperti kuda atau sapi, adalah ciptaan yang dapat digunakan oleh manusia untuk maslahat. Teknologi ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan seperti pengelolaan pasar publik, sistem wakaf, layanan pendidikan dan kesehatan. 

Jika digunakan dalam kerangka nilai-nilai Islam, AI bahkan bisa memperkuat peradaban Islam. Namun jika diserahkan kepada korporasi tanpa pengawasan etis dan ilahiah, maka kerusakan akan muncul. Oleh karena itu, yang menjadi masalah bukanlah AI itu sendiri, melainkan siapa yang mengendalikannya.

Masalah terbesar hari ini bukanlah teknologi, melainkan monopoli dan oligopoli yang mengendalikannya. Kapitalisme modern yang disokong oleh pasar saham menciptakan kondisi di mana kekuatan terkonsentrasi di tangan segelintir elite yang mampu mengarahkan teknologi untuk kepentingan mereka sendiri. Ini bertentangan dengan prinsip Islam yang melarang monopoli dan mendorong distribusi keadilan. Dalam konteks ini, AI dapat menjadi alat pembebasan atau alat perbudakan tergantung pada siapa yang memegang kendalinya.

Seorang Muslim tidak boleh bersikap pasif terhadap fenomena ini. Ia harus aktif mengambil peran dalam pengembangan, regulasi, dan etika AI. Ia harus memanfaatkan akalnya yang diberi cahaya oleh iman untuk memastikan bahwa AI menjadi alat bagi kemanusiaan, bukan tuhan baru yang dikultuskan. 

Ketika manusia mengandalkan mesin, ia telah menciptakan berhala modern. Ketika ia percaya bahwa AI lebih kuat daripada kehendak Allah, maka ia telah jatuh dalam syirik kultural.

Makrifatullah adalah sumber dari segala pengetahuan. Ia bukan hanya fondasi iman, tetapi juga fondasi sains yang benar. Seorang Muslim yang mengenal Allah akan melihat AI sebagai bagian dari manifestasi ciptaan-Nya yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. 

Ia tidak akan takut, karena rasa takutnya hanya kepada Allah. Dan karena itu, ia bebas dari paranoia, bebas dari kepanikan, dan bebas dari pembingkaian palsu yang diciptakan oleh narasi global.

Dengan demikian, manusia yang memimpin, bukan mesin. Manusia yang mengatur, bukan algoritma. Dan manusia yang bertanggung jawab, bukan sistem. AI hanyalah alat. Ketika digunakan dengan akal dan makrifat, ia menjadi berkah. Ketika ditinggalkan tanpa etika, ia menjadi bencana. Pilihan ada di tangan manusia. Maka ambillah peran, dan pimpinlah zaman ini dengan cahaya makrifatullah.

*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub

ikuti terus update berita rmoljatim di google news