- Politik “Kayyum” Ala Turki
- Tarif 84 Persen, Dunia pun Tertawa
- Bangun, Indonesiaku, Sebelum Jadi Fosil Sejarah
DI tengah udara sejuk Sukabumi yang akrab dengan aroma teh dan kenangan pesantren tua, seorang menteri berdiri mantap di atas panggung. Ia bukan menteri biasa. Ia Nusron Wahid -- anak kandung Nahdlatul Ulama, yang berkibar di partai kuning bernama Golkar.
Hari itu, ia hadir di Pesantren Syamsul Ulum, pesantren sepuh yang didirikan KH Ahmad Sanusi, ulama pejuang bergelar pahlawan nasional sekaligus pendiri Persatuan Ummat Islam (PUI). Ormas ini mengusung Ahlussunnah wal Jamaah, namun demi persatuan ia menghindari khilafiyah dalam urusan cabang atau subcabang masalah fiqih.
Tampil dengan syal melingkar di leher, Menteri Agraria dan Tata Ruang ini tampak siap berkhotbah dalam pengajian Majlisul Ilmi. Bukan soal matahari kembar atau trilogi pembangunan, tapi tentang sesuatu yang lebih membumi: tanah. Dan di majelis pengajian ini, apa lagi yang pantas dibahas seorang Menteri ATR, kalau bukan ayat-ayat tanah?
Nusron dengan fasih menyebut, ada 6.236 ayat dalam Al-Qur’an. Tapi ia tampaknya memilih ayat yang lebih pas untuk menampar para penimbun hektaran tanah: Surah al-Hasyr ayat 7. Intinya terdapat di kalimat, “?? ?? ???? ???? ??? ???????? ????”-- “agar harta itu tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.”
Ayat ini sejatinya membahas harta rampasan perang di masa Nabi Muhammad Saw, tapi seperti harta tanah hari ini, nyatanya sama-sama dirampas. Bedanya, dulu dari musuh, sekarang dari rakyat sendiri. Dulu tanah dibagi-bagi untuk umat, sekarang dibagi-bagi untuk 60 keluarga yang sudah kaya raya, membuat mereka kaya berlipat-lipat.
Menteri Nusron menyebut angka yang cukup untuk membuat petani gurem menggigit cangkulnya: 46 persen tanah non-hutan di Indonesia dikuasai oleh hanya sekitar 60 keluarga. Dari 70 juta hektare tanah non-hutan, 30 juta hektare dalam bentuk HGU dan HGB dikuasai oleh sekitar 3.500 perusahaan.
Dan perusahaan-perusahaan ini, seperti pohon-pohon jati tua yang enggan lapuk, akarnya berujung pada lingkaran keluarga yang itu-itu saja. Bahkan, ada satu keluarga yang mengantongi 1,8 juta hektare tanah. Bayangkan: satu keluarga bisa tidur berguling dari Sabang ke Merauke tanpa harus keluar pekarangan.
Sementara itu, kata Nusron dengan sorot mata tajam dan mulutnya yang khas, seorang warga PUI yang ingin mencari dua hektare saja untuk menanam kangkung harus berhadapan dengan birokrasi dan mafia tanah. Inilah realitas, bahwa hidup di negeri agraris tidak otomatis membuat kita punya tanah.
Ayat ke-7 dari Surah al-Hasyr tadi memang bicara soal _“dulah”_ atau perputaran harta. Kata “????” dalam tafsir al-Baghawi dijelaskan sebagai sesuatu yang hanya berpindah-pindah dalam lingkaran orang kaya. Istilah hari ini: oligarki. Tafsir ini mengingatkan, Islam sejak awal sudah menaruh curiga pada sistem ekonomi yang hanya melayani elite.
Karena itu, bayangkan, bahkan pada masa Rasulullah Saw, pembagian harta rampasan pun perlu diatur dalam SK agar tidak menjadi “sirkuit tertutup kekuasaan ekonomi”. Karena itu, Rasul membagi harta secara adil: untuk para fakir, untuk orang-orang yang terusir dari lahan dan hartanya, dan untuk mereka yang berjuang.
Kalau tanah hari ini dipandang sebagai ghanimah modern ?"hasil dari kebijakan dan fasilitasi negara?" maka distribusinya pun seharusnya mengacu pada asas keadilan sosial, bukan warisan feodalisme terselubung. Iya, seharusnya begitu, seperti diatur dengan pasal 33 di UUD 1945, tapi bagaimana senyatanya?
Ironisnya, atau tragisnya: dalam negara yang konon berdasarkan Pancasila, sila kelima dan pasal 33 UUD 1945 itu tampaknya masih disimpan dalam arsip, bukan dalam kebijakan. Menteri Nusron, dengan retorika yang santun, pun menggemakan suara: “Inilah ketidakadilan struktural!”
Lucunya, ini dikatakan oleh menteri dari partai yang selama Orde Baru turut merancang peta ketimpangan ini. Ironi tingkat dewa. Tapi, mari kita beri dia kredit: setidaknya, sekarang dia berbicara. Dan mungkin syal itu bukan sekadar aksesoris, tapi simbol niat untuk menghangatkan agraria yang beku.
Rencana penataan ulang HGU dan HGB yang dia janjikan memang terdengar manis. Tapi kita tahu, HGU bukan singkatan Hanya Gagal Urus, melainkan simbol bahwa tanah di negeri ini bisa jadi diperlakukan seperti saham: bisa dikuasai, disewakan, bahkan diwariskan, meski bukan milik abadi.
Nusron pun menjanjikan kerja sama dengan ormas-ormas, termasuk dari kalangan Islam -- dari NU, Muhammadiyah, Persis hingga PUI -- untuk mengelola tanah negara yang belum produktif. Tapi selama ormas hanya diajak menandatangani MoU dan tidak diberi kunci pintu tanahnya, rakyat tetap menjadi penonton agraria.
Maka, dari podium sederhana di Pesantren Syamsul Ulum, syal itu bergoyang bersama suara menteri yang menyuarakan mimpi besar: reformasi agraria yang tidak hanya menata sertifikat, tapi menata struktur kekuasaan tanah.
Dan jika kita benar-benar menghayati ayat dari surah al-Hasyr itu, maka setiap jengkal tanah yang ditarik dari lingkaran oligarki dan dibagikan kepada petani kecil, bukan sekadar reformasi teknis. Tapi, sejatinya ini termasuk jihad ekonomi.
Atau, seperti kata Gus Dur dulu: “Tanah air kita ini kaya, tapi pemiliknya hanya satu: orang kaya.” Maka, wahai pak Nusron dan para pejabat bersyal lainnya, selamatkan tanah ini sebelum yang tersisa hanya syal dan sambutan.
*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al Quran
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Politik “Kayyum” Ala Turki
- Tarif 84 Persen, Dunia pun Tertawa
- Bangun, Indonesiaku, Sebelum Jadi Fosil Sejarah