Gagasan Restorative Justice (keadilan restoratif) dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang dikemukakan Jaksa Agung ST Burhanuddin saat dikukuhkan sebagai Gurubesar Tidak Tetap Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jumat lalu (10/9) cukup menarik perhatian publik.
- Bawaslu Banyuwangi Temukan 2 Dugaan Pelanggaran Pidana Pilkada
- Penanganan Covid-19, Kuncinya Kerja Dulu Jangan Terlalu Banyak Bicara Pancasila
- Survei SSC, AHY Cawapres Favorit Warga Jatim
Berkat mengenalkan gagasan hukum berdasarkan hati nurani, Jaksa Agung dianugerahi gelar Profesor kehormatan oleh Unsoed. Gagasan ini adalah cara mewujudkan keadilan hukum yang hakiki dengan berpijak pada kemanfaatan dan kepastian hukum secara bersamaan dengan melibatkan komponen hati nurani.
Bentuk kristalisasi agar hukum berdasarkan hati nurani teraplikasi dengan baik, maka saya selaku penuntut umum tertinggi mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Keadilan Restoratif,” kata Jaksa Agung dalam pidato pengukuhannya.
Hasilnya, lanjut Burhanuddin, hingga Agustus 2021 sudah terdapat 304 perkara yang berhasil diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif. Dengan kata lain, dalam setiap hari hampir ada 1 perkara yang bisa selesai dengan jalan damai antara pelaku, korban, dan masyarakat.
Langkah Burhanuddin ini dianggap fenomenal. Sebab, di samping telah menghadirkan keadilan bagi masyarakat bawah dalam kasus tindak pidana ringan, di sisi lain juga menunjukkan usaha serius bagi penegakan kasus besar seperti korupsi Asabri dan sebagainya.
Respons positif atas gagasan Jaksa Agung tersebut antara lain diberikan Fahri Hamzah. Melalui akun twitter pribadinya @Fahrihamzah, ia mengurai pokok-pokok pikiran Jaksa Agung seraya menyebutnya sebagai solusi atas kekakuan penerapan hukum selama ini.
“Saya membaca utuh pidato pengukuhan Gurubesar Jaksa Agung di Unsoed 10/9/2021 kemarin. Pidato ini memberi harapan bagi masa depan penegakan hukum demokratis di Indonesia, sesuatu yang sedang ditunggu,” tulis Fahri, Selasa malam (14/9).
Menurut Fahri, gagasan Jaksa Agung memiliki arti sangat penting yang akan mengubah wajah sistem peradilan pidana di Indonesia. Pasalnya, sudah terlalu lama Indonesia mengadopsi dan menjalankan sistem hukum kolonial yang retributif, yakni berorientasi pada penghukuman atau pemidanaan.
“Kita sudah merdeka bahkan beralih menjadi negara demokrasi modern, tapi hukum masih otoriter,” ungkapnya.
Bukan tanpa alasan, Fahri memberi tempat tersendiri atas pidato Jaksa Agung di hatinya. Selaku mantan pimpinan Komisi Hukum DPR RI 2009-2014, ia cukup memahami persoalan sistem hukum yang mesti dibenahi.
Bahkan di pengujung masa jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR RI tahun 2019, ia bersama anggota DPR lainnya hampir saja mengesahkan revisi UU KUHP dan UU Lembaga Pemasyarakatan.
Namun, dua proses revisi yang telah mengadopsi paradigma hukum modern itu ternyata harus gagal dan tertunda karena satu dan lain alasan.
“Saya menyambut tinggi ketika ide-ide besar itu ternyata landas dalam pikiran Jaksa Agung,” ucap Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia ini.
Karena itu, Fahri memandang pikiran tersebut mesti harus diutamakan agar menjadi mazhab politik hukum baru dalam sistem peradilan Indonesia.
Menurut Fahri, pikiran itu juga perlu mendapat respons lanjutan dari Presiden Joko Widodo dan legislator DPR RI, termasuk lembaga yudikatif. Agar melahirkan langkah-langkah yang lebih taktis dan strategis bagi penyempurnaan sistem hukum di Indonesia.
“Saya mengucapkan terima kasih pada Jaksa Agung Prof Dr ST Burhanuddin atas pikiran besar ini. Mari kita aplikasikan dalam kehidupan nyata, dan selamat atas gelar baru sebagai Professor ilmu keadilan restoratif di Unsoed. Vivant Professores!” tutup Fahri.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Bakar Semangat Puluhan Ribu Relawan, Gus Sadad: Seluruh Rakyat Ingin Prabowo Presiden
- Bawaslu Temukan Belasan Ribu Pemilih Non KTP Elektronik di Sidoarjo
- Tingkat Kedewasaan Puan Maharani Diragukan Pimpin Indonesia