Bahasa Jawa Boleh Saja Usang Tapi...

Ilustrasi / net
Ilustrasi / net

PRIHATIN. Miris. Melihat perkembangan bahasa Jawa pada anak-anak jaman sekarang. Kemarin seorang guru membagikan hasil ujian sumatif ke WhatsApp Grup (WAG) wali murid. Satu kelas tidak ada yang mendapat nilai di atas 70. Mereka harus remidi.

Bukan soal remidi yang mau saya bahas. Melainkan mempertanyakan pelajaran bahasa daerah terutama bahasa Jawa yang sepertinya tidak menarik minat bagi anak-anak didik kita. Saya sampai mengomentari di WAG apakah bahasa mereka sudah beralih ke eranya K-Pop. Sebab rata-rata anak jaman sekarang lebih memahami bahasa Korea ketimbang bahasa leluhurnya.

Maka wajar jika kita sering mendengar kalimat seperti ini: Kelak, kita belajar Bahasa Jawa ke Negeri Belanda.

Ya, kondisi ini sedang terjadi saat ini. Banyak orang asing yang kini berlomba untuk mempelajari budaya lokal kita. Maka jangan heran jika nanti budaya lokal terutama bahasa daerah/Jawa akan 'tutup buku'. 

Paling sederhana, saat ini anak-anak nyaris tidak pernah dan bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa kromo inggil saat bertemu orang yang lebih tua/orangtua. Mereka lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia, meski hal ini tidak salah karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional. Tetapi kita juga tidak bisa menafikan pentingnya penggunaan bahasa daerah/Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, bahasa daerah bisa dibilang menjadi salah satu bahasa ibu alias bahasa pertama yang dikuasai seorang anak. Bahasa daerah/Jawa juga mengajari anak untuk berlaku sopan santun, memiliki unggah ungguh pada orang, punya adab ketimuran yang tinggi.

Dibandingkan pelajaran bahasa Inggris, nilai rata-rata anak didik di pelajaran bahasa Jawa lebih jeblok.

Apakah mata pelajaran bahasa Jawa menakutkan. Tidak juga.

Pelajaran bahasa Jawa atau bahasa daerah lain yang diajarkan di sekolah sejatinya sama dengan pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Ada kosakata, ada tata bahasa, ada kebahasaan, ada juga kesusasteraan. 

Anggapan bahasa Jawa menjadi momok dan menjadi sesuatu yang tidak menarik untuk dipelajari, semestinya tidak terjadi. 

Namun, kondisi inilah yang menjadi gambaran umum di sekolah-sekolah SD maupun SMP di Indonesia terutama Surabaya? Demikian seorang pegiat sejarah, budaya dan aksara Jawa di Surabaya, Nanang Purwono menanyakan hal yang sama seperti saya. 

"Ini PR besar dalam menghadapi kondisi seperti ini. Tapi harus ada upaya mengamankannya," kata Nanang saat kami berdiskusi. 

Bagaimana membuat pelajaran bahasa Jawa menjadi menarik bagi anak-anak kita?

Tentu semua perlu pembenahan. Harus dilakukan mulai sekarang. Bisa dimulai dengan pembenahan budaya berbahasa. Mengingat budaya berbahasa itu penting, di samping pembelajarannya. 

Di lingkungan pondok pesantren salafi, hingga kini budaya berbahasa tetap menjadi rutinitas. Tidak lagi wajib. Ada adab yang dipakai saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Bahkan bahasa pengantar materi pondok pesantren lebih banyak menggunakan bahasa Jawa.

Dalam konteks ini, pembelajaran budaya berbahasa bisa dilakukan di sekolah tetapi juga didukung di lingkungan keluarga. 

Karena itu suasana ini perlu diciptakan sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Dengan begitu anak akan mengenal, mengerti dan menguasai penggunaan bahasa Jawa. Ini adalah pondasi pembelajaran bahasa dan budaya Jawa di sekolah. Tentunya tujuan utama pembelajaran bahasa Jawa adalah menarik minat anak-anak didik kita.  

Selain itu, pembelajaran bahasa dan budaya Jawa di sekolah juga perlu disiapkan kurikulum yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pembelajaran bahasa Jawa bagi SD dan SMP tentu berbeda tingkatnya. Bagi anak SMP bahasa Jawa tidak menarik lagi jika melulu mempelajari hanacaraka

Pembelajaran Bahasa Jawa di kelas VII, VIII dan IX harus naik levelnya, yakni lebih ke pendalaman atas materi pelajaran yang telah diperluas.

Mereka bisa diberikan pengetahuan kebahasaan dan kesasteraan serta permasalahan budaya Jawa yang ada di kehidupan sehari-hari. Terkait kurikulum dan konsep pembelajaran bahasa Jawa, para akademisi yang lebih paham.

Selain itu, peran guru dalam meningkatkan pembelajaran bahasa Jawa bagi anak-anak didik sangat vital. Guru jangan lagi memandang fenomena ini dalam kacamata kuda. Pola satu arah harus ditinggalkan. Harus ada perubahan mendasar. Setiap guru harus memiliki pemikiran out of the box agar bahasa Jawa menjadi menarik bagi siswa.

Semisal, guru dan sekolah bisa menggandeng stakeholder terkait maupun pihak swasta yang benar-benar peduli dengan pembelajaran bahasa Jawa. Kemudian mengemasnya dalam konsep pembelajaran bahasa Jawa yang baik dan menarik. 

Pelajaran bahasa daerah/Jawa harus diamankan, nilai-nilainya harus dijaga, jangan sampai tergusur/kalah dengan bahasa asing, itu kata teman saya. Boleh saja pelajaran bahasa Jawa dianggap usang karena warisan leluhur, tetapi pola pembelajarannya harus mengikuti eranya. Semoga bermanfaat.

Wartawan Kantor Berita RMOLJatim

ikuti terus update berita rmoljatim di google news