Bamsoet: KPU Jangan Melampaui Kewenangan UU

RMOLBanten. Langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menciptakan hasil demokrasi yang bersih dan bebas dari korupsi mendapat dukungan Ketua DPR Bambang Soesatyo..


Bamsoet, demikian sapaan akrab Bambang, mendasarkan pendapatnya pada UU 7/2017 tentang Pemilu. UU ini mengatur bahwa mantan narapidana yang sudah menjalani masa hukuman 5 tahun atau lebih boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama yang bersangkutan mengumumkan ke publik mengenai kasus hukum yang pernah menjeratnya.

"Saya sependapat dengan pernyataan Wakil Ketua KPK Saud Sitomorang bahwa mantan terpidana korupsi boleh saja dicalonkan partainya jika memenuhi sejumlah syarat. Syaratnya antara lain, yang bersangkutan harus menyatakan/mendeklarasikan secara jujur bahwa dirinya mantan napi korupsi, tidak dicabut haknya oleh keputusan pengadilan, melewati jeda waktu 5 tahun (jika tuntutan yang bersangkutan di atas lima tahun), menunjukkan penyesalan dan berkelakuan baik selama menjalani tahanan, serta tidak mengulangi perbuatannya," ucap Bamsoet, Minggu (27/5).

Sebelumnya, Saut Situmorang menyatakan mantan narapidana korupsi bisa saja diberikan kesempatan ikut menjadi caleg dalam Pemilu 2019. Menurut Saut, jika mantan narapidana korupsi menyesali perbuatannya dan masyarakat luas ternyata mau memilih orang tersebut, patut diberikan kesempatan.

"Kalau kita menghukum orang berkali-kali atas kesalahan yang sama, saat orang yang sudah mengakui kesalahannya, sudah menjalani hukumannya, ya itu hukum enggak begitu. Hukum enggak boleh dendam," kata Saut ke wartawab di sela acara buka puasa bersama di Gedung KPK, Jakarta, Rabu lalu.

Menurut Saut, jika seseorang telah dihukum, menjalani hukuman, lalu mengakui secara jujur dan terbuka pernah menjadi mantan narapidana korupsi, secara hukum persoalan itu selesai. Justru, tak menutup kemungkinan jika nantinya orang tersebut bisa berubah dan menghasilkan kinerja yang lebih baik karena pernah melakukan kesalahan.

"Menurut saya, jika KPU masih tetap bersikukuh, sementara dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengar DPR, Pemerintah, dan Bawaslu pekan lalu, hasilnya sudah jelas. Yakni tidak sepakat dengan usulan KPU tersebut lantaran tidak ada dalam UU Pemilu," timpal Bamsoet.

Jika keukeuh membuat larangan itu, KPU bisa dianggap melampaui wewenangnya. Alasannya ada dua. Pertama, sikap KPU tersebut terlampau berlebihan dalam membangun pencitraan lembaganya. Padahal, UU sudah mengatur mengenai hak-hak seorang warga negara, termasuk para mantan terpidana.

"Keputusan seseorang kehilangan hak-hak politiknya itu ada di pengadilan, bukan diputuskan dalam aturan yang letaknya di bawah UU. Jika KPU masih bersikukuh mengeluarkan aturan tersebut, itu sama saja dengan melawan UU. Atau kalau mau, kita amandemen saja dulu konstitusi kita agar KPU diberikan hak untuk membuat UU sendiri sekaligus melaksanakannya sendiri," sindir Bamsoet.

Kedua, dengan keputusan itu, KPU telah merampas hak-hak dasar warga negara untuk dipilih dan memilih. Kata Bamsoet, saat seorang mantan narapidana telah menjalani hukumannya dan kembali ke masyarakat, hak dan kewajibannya sama dengan warga negara lainnya.

"Itu dijamin dalam konstitusi kita. Kecuali pengadilan saat memutus perkara yang bersangkutan memutuskan pencabutan hak politiknya," imbuhnya.

Selain itu, tambah Bamsoet, KPU juga telah merampas hak warga negara yang akan memilih calon yang dijegal tersebut. Mulai dari keluarga, kerabat hingga masyarakat tempat mantan terpidana itu berdomisili.

"Soal apakah yang bersangkutan akan terpilih atau tidak, serahkan saja kepada masyarakat," tandasnya. [dzk]

ikuti terus update berita rmoljatim di google news