RMOLBanten. Pemerintah diminta memetik pelajaran dari buruknya pengelolaan utang negeri tetangga, Malaysia. Saatnya ngerem utang dan lebih bijak mengelola anggaran.
- Apindo Ingatkan Pemerintah Waspadai Resesi Tahun 2023
- Peduli Kebersihan Parepare, BTN Sumbangkan Mobil Pengangkut Sampah
- Upaya Pemkab Lamongan Komitmen Gairahkan Pelaku UMKM
Menurutnya, ada dua alaÂsan mendasar. Pertama, rasio utang Malaysia sudah mencapai 51 persen, mendekati batas aman yang ditetapkan konstitusi mereka sebesar 55 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara, rasio utang IndoneÂsia masih 30 persen dari PDB. Hal ini akan membuat banyak kalangan menganggap rasio utang masih aman.
"Saya kira pelajarannya dari Malaysia, jangan berutang terus. Mereka juga selama ini merasa aman, jauh dari PDB, dan terus ngutang. Dan faktanya, Indonesia selama tiga tahun terakhir jumlah utang terus naik, dan ke depan potensinya naik. Jika tidak hati-hati, kita pun akan mendekati batas aman," kata Abra kepada Rakyat Merdeka.
"Dengan kondisi seperti itu, saya kira masyarakat sulit diaÂjak membantu pemerintah," terangnya.
Kondisi tersebut, lanjut Abra, berbeda dengan Malaysia. Masyarakat negeri Jiran meÂnaruh kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintahan Mahathir Mohamad. Rakyat Malaysia memandang Mahathir memiÂliki komitmen yang kuat dalam mengatasi masalah keuangan.
"Masyarakat Malaysia meliÂhat pemerintah mereka serius. Lalu muncullah respons positif," ujarnya.
Abra menambahkan, gerakan moral rakyat Malaysia sebeÂnarnya tidak memiliki dampak besar terhadap pengurangan utang negara mengingat jumlahÂnya yang besar. Tetapi, gerakan tersebut menimbulkan sentimen positif yang akan menguatkan kepercayaan iklim investasi.
Seperti diketahui, rakyat MaÂlaysia baru-baru ini melakukan penggalangan dana untuk memÂbantu pemerintahan Mahathir membayar utang. Sang inisiator, Nik Shazarina Bakti mengaku melakukan gerakan tersebut sebagai rasa cintanya terhadap negara.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno meminta, masalah utang Indonesia dan Malaysia tidak dibanding-bandingkan karena memiliki konteksyang berbeda.
"Utang di Malaysia dianggap sebagai suatu kecelakaan (by acÂcident), sementara di Indonesia, utang merupakan kebijakan fiskal yang direncanakan (by design)," kata Hendrawan.
Hendrawan menerangÂkan, sebenarnya utang adalah variabel yang bisa disiasati dan merupakan bagian dari strategi. Menurutnya, utang itu bisa diperÂbesar dan bisa diperkecil. Utang diperbesar agar anggaran bersifat ekspansif sehingga bisa melakuÂkan banyak pembangunan. Bila diperkecil, resikonya akan terÂjadi perlambatan. Tinggal mau pilih yang mana.
Hendrawan menuturkan, geraÂkan saweran membantu keuangan negara bisa saja dilakukan. IndoÂnesia pernah melakukannya pada tahun 1997-1998. Tapi ketika itu lebih politis untuk menarik simpati publik. [RM]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Sukses di Surabaya, Koperasi Kana Kembangkan Sayap ke Medan dan Luncurkan Produk Sano
- Per Januari 2021, Indonesia Catatkan Utang Luar Negeri Rp 5,9 Kuadriliun
- Gelar Tunjungan Loop, Inovasi BRI Surabaya Kusuma Bangsa dalam Mendorong Transaksi Digital