Belajar Dari Malaysia- Saatnya Pemerintah Ngerem Utang

RMOLBanten. Pemerintah diminta memetik pelajaran dari buruknya pengelolaan utang negeri tetangga, Malaysia. Saatnya ngerem utang dan lebih bijak mengelola anggaran.


Menurutnya, ada dua ala­san mendasar. Pertama, rasio utang Malaysia sudah mencapai 51 persen, mendekati batas aman yang ditetapkan konstitusi mereka sebesar 55 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara, rasio utang Indone­sia masih 30 persen dari PDB. Hal ini akan membuat banyak kalangan menganggap rasio utang masih aman.

"Saya kira pelajarannya dari Malaysia, jangan berutang terus. Mereka juga selama ini merasa aman, jauh dari PDB, dan terus ngutang. Dan faktanya, Indonesia selama tiga tahun terakhir jumlah utang terus naik, dan ke depan potensinya naik. Jika tidak hati-hati, kita pun akan mendekati batas aman," kata Abra kepada Rakyat Merdeka.

Kedua, gerakan rakyat Ma­laysia sulit ditiru karena keper­cayaan masyarakat Indonesia rendah terhadap pengelolaan anggaran negara. Selain utang yang terus naik, menurut Abra, pemerintah inkonsisten dalam melakukan reformasi fiskal.

Misalnya, semula pada awalnya pemerintah mengalihkan subsidi untuk infrastruktur. Namun men­jelang pemilu, subsidi dikem­balikan lagi. Selain itu, ada beberapa proyek infrastruktur dinilai publik tidak urgent tetapi terus dipaksakan jalan.

"Dengan kondisi seperti itu, saya kira masyarakat sulit dia­jak membantu pemerintah," terangnya.

Kondisi tersebut, lanjut Abra, berbeda dengan Malaysia. Masyarakat negeri Jiran me­naruh kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintahan Mahathir Mohamad. Rakyat Malaysia memandang Mahathir memi­liki komitmen yang kuat dalam mengatasi masalah keuangan.

Pertama, Mahathir memo­tong gajinya sendiri, beserta menteri dan pegawai-pegawai di pemerintah. Kedua, Mahathir melakukan revisi terhadap proyek-proyek yang memakan anggaran banyak dan tidak men­desak.

Contoh teranyar, Mahatir merevisi proyek kereta cepat Kuala Lumpur-Singapura.

"Masyarakat Malaysia meli­hat pemerintah mereka serius. Lalu muncullah respons positif," ujarnya.

Abra menambahkan, gerakan moral rakyat Malaysia sebe­narnya tidak memiliki dampak besar terhadap pengurangan utang negara mengingat jumlah­nya yang besar. Tetapi, gerakan tersebut menimbulkan sentimen positif yang akan menguatkan kepercayaan iklim investasi.

Seperti diketahui, rakyat Ma­laysia baru-baru ini melakukan penggalangan dana untuk mem­bantu pemerintahan Mahathir membayar utang. Sang inisiator, Nik Shazarina Bakti mengaku melakukan gerakan tersebut sebagai rasa cintanya terhadap negara.

Ekonom Senior Prof Edy Suandi Hamid menyambut gem­bira muncul gerakan moral di Malaysia.

"Gerakan itu bisa menjadi pengingat pemerintah kita agar mengendalikan utang dan memanfaatkan anggaran dengan bijak," kata Edy.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno meminta, masalah utang Indonesia dan Malaysia tidak dibanding-bandingkan karena memiliki konteksyang berbeda.

"Utang di Malaysia dianggap sebagai suatu kecelakaan (by ac­cident), sementara di Indonesia, utang merupakan kebijakan fiskal yang direncanakan (by design)," kata Hendrawan.

Hendrawan menerang­kan, sebenarnya utang adalah variabel yang bisa disiasati dan merupakan bagian dari strategi. Menurutnya, utang itu bisa diper­besar dan bisa diperkecil. Utang diperbesar agar anggaran bersifat ekspansif sehingga bisa melaku­kan banyak pembangunan. Bila diperkecil, resikonya akan ter­jadi perlambatan. Tinggal mau pilih yang mana.

Hendrawan menuturkan, gera­kan saweran membantu keuangan negara bisa saja dilakukan. Indo­nesia pernah melakukannya pada tahun 1997-1998. Tapi ketika itu lebih politis untuk menarik simpati publik. [RM]

ikuti terus update berita rmoljatim di google news