- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
- Ironi Politik Tekno-moral Negeri Hindustan
Beranilah Berpendapat Imbang Sejak Dalam Pikiran
SEBENARNYA, buku ini sudah pernah terbit pada tahun 2023. Bedanya pada edisi update yang dirilis pada bulan Maret ini adalah pada pengayaan data dan argumentasi yang dikembangkan Norman Finkelstein, pakar politik AS. Selama ini, Finkelstein dikenal sebagai ilmuwan politik yang kritis pada situasi yang tak adil. Kritik yang dilancarkannya kerap menyasar pada figur elit politik pro-Israel di AS.
Sebagai ilmuwan kritis, Finkelstein telah menulis beberapa buku yang kemudian menyedot perhatian internasional. Dalam buku barunya ini, Finkelstein memfokuskan ketajaman forensiknya pada teks-teks kanonik politik identitas. Setelah menguraikannya secara metodis, Finkelstein menyimpulkan bahwa teks-teks tersebut kurang memiliki substansi intelektual. Sebaliknya, tujuan sebenarnya dari politik identitas adalah menggagalkan gerakan berbasis kelas yang bertekad untuk melakukan perubahan radikal.
Contoh politik identitas di AS adalah pada saat Barrack Obama ikut dalam pemilihan presiden beberapa tahun silam. Finkelstein menganalisis kultus terhadap Obama, yang ia ungkapkan sebagai produk puncak politik identitas. Presiden kulit hitam pertama itu naik ke tampuk kekuasaan dengan, dalam kalimat sinis Obama sendiri, yakni "melakukan trik yang rapi". Caranya, hanya melakukan pembelaan berdasar warna kulit.
Finkelstein memang aktif dalam politik radikal. Ia juga korban dari budaya pembatalan (cancel culture) di AS, yang membuatnya menganggur dan tidak dapat bekerja. Ia menempatkan kisah pribadinya dalam perdebatan yang lebih luas tentang kebebasan akademis. Pilihannya dalam politik radikal yang mengkritisi ketidakberesan ternyata berujung kepahitan hidup. Ia sempat terlibat polemik melawan Alan Dershowitz terkait isu Israel-Palestina pada tahun 2005.
Polemik tersebut memperoleh perhatian luas di AS karena menyangkut kebebasan mimbar akademis. Kebebasan akademisi menyuarakan pendapat. Suasana kian panas ketika kelompok Kiri yang biasanya memakai argumen perjuangan kelas bergeser memperjuangkan ''kata ganti netral gender''. Akademisi yang pada periode sebelumnya sangat sibuk membela kelas sosial yang terpinggirkan dari dinamika kapitalisme, kini para akademisi lebih asyik berwacana netral gender.
Akibatnya, menyasar ke situasi yang biasa disebut ''politik identitas''. Politik identitas kemudian dimaknai dangkal. Bukan tentang pekerjaan yang membosankan untuk mendidik dan mengorganisasi, tetapi tentang suka, berbagi, dan pandangan; bukan tentang membaca, meneliti, dan bernalar, tetapi tentang tweet, meme, dan tagar.
Para pemimpin perlawanan terhadap ketidakadilan tidak dapat ditemukan, seperti dulu, saat mengorganisasi pemogokan penambang atau berdarah-darah membela Republik, tetapi para pemimpin itu berada di festival "Ide Besar" yang mewah di tempat istimewa atau pesta antirasisme di lokasi terbatas. Finkelstein melihat pergeseran situasi itu dengan miris. Perlawanan yang seharusnya terjadi malah terkesan surut. Tergantikan oleh aktivitas yang kurang menukik ke jantung permasalahan.
Semangat Kiri yang bersejarah dibangkitkan kembali dalam gerakan Occupy, pencalonan presiden Bernie Sanders, demonstrasi George Floyd, serta pengungsian Gaza. Ironinya, tidak ada yang tuntas: gerakan Occupy mengagung-agungkan bentuk aksi sekaligus mengorbankan konten; Bernie terbukti tak mampu menjalankan tugas sebagaimana ia tetapkan sendiri sebagai "Revolusi Kita"; protes anti-kebrutalan polisi dibajak oleh para pejuang ras; protes anti-genosida ditumpas oleh para administrator kampus yang kejam.
Sikap Finkelstein dalam kasus konflik Israel-Palestina sudah sangat jelas selama ini. Ia melihat, konsensus akademis yang luas telah mengkristal (setidaknya, dalam program Studi Timur Tengah) bahwa tujuan Zionis untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina tidak dapat dipertahankan secara moral. Finkelstein sependapat dengan konsensus ini.
Tatkala pendukung utama Zionis, Vladimir Jabotinsky asal Rusia, berpendapat bahwa pendirian negara Israel itu berkaitan dengan urusan moral. Usai mempresentasikan hal itu di dalam perkuliahan, Finkelstein lantas menantang para mahasiswa untuk mengkritisi Jabotinsky. Kepada para mahasiswanya, Finkelstein menegaskan bahwa pendapat pribadinya tidaklah penting. Yang terpenting, justru pendapat mahasiswa yang berani mengkritisi topik yang disajikan. Finkelstein hendak menunjukkan betapa penting kebebasan akademik untuk berpendapat walau terjadi perbedaan.
Ala kulli hal, membaca buku ini seperti diajak Finkelstein berkelana ke dalam pengalamannya yang luas sebagai ilmuwan politik kritis saat ini. Pandangan Finkelstein yang kerap berseberangan dengan para pendukung lobi Yahudi di AS tampaknya kemudian berdampak terhadap perjalanan karir akademiknya. Meski demikian, ia sangat meyakini, bahwa membuat penilaian berimbang tentu saja merupakan tugas mulia bagi seorang intelektual publik.
Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
- Ironi Politik Tekno-moral Negeri Hindustan