Tudingan Direktur RS Mata Undaan Surabaya, dr Sudjarno melalui surat teguran tertulis kepada bawahannya berujung meja hijau. Pria berusia 60 tahun ini diadili di Pengadilan Negeri Surabaya atas dakwaan melanggar pasal 310 ayat (2) KUHP dan pasal 311 ayat (1) KUHP.
Dijelaskan JPU Kejari Tanjung Perak, I Gede Willy, kasus ini bermula saat terdakwa memberikan sanksi secara tertulis kepada saksi dr Lidya Nuradianti (pelapor).
- Wali Kota Mojokerto Minta Pelaporan Data Diutamakan pada Gelar Audit Kasus Stunting II
- Tinjau Jembatan Ngaglik I Lamongan, Menteri PUPR Basuki Minta Perbaikan Dipercepat
- Peringati HPN Ke-76, PWI Gandeng Satgas Covid-19 Banyuwangi Gelar Vaksinasi Booster
Dalam teguran tertulis itu, terdakwa dr Sudjarno menyebut jika saksi telah melakukan pelanggaran prosedur kerja dan etika profesi dalam penanganan terhadap salah seorang pasien yang melakukan operasi incisi hordeolum pada 29 November 2107 lalu. Dimana operasi tersebut dikeluhkan oleh pasien, karena dilakukan oleh seorang perawat.
"Padahal terdakwa dalam kapasitasnya sebagai direktur Rumah Sakit Mata Undaan tidak memiliki kewenangan untuk menilai pelaksanaan etik kedokteran dan menyatakan adanya suatu pelanggaran etika profesi kedokteran,"kata JPU Willy dikutip Kantor Berita RMOLJatim saat membacakan surat dakwaannya dalam sidang diruang Candra Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (19/8).
Selain itu, masih terang Willy, tudingan pelanggaran etika profesi tersebut dilakukan secara sepihak tanpa adanya pembuktian dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Surabaya melalui Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
"Sesuai keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Nomor : 06/MKEK/IDI-SBY/VII/2018 Tanggal 20 Agustus 2018, menetapkan saksi dr Lidya Nuradianti tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik,"terang Willy.
Atas dakwaan tersebut, tim penasehat hukum terdakwa mengaku tidak mengajukan eksepsi. Majelis hakim yang diketuai Cokorda Gede Arthana menunda persidangan selama dua pekan.
"Karena tidak mengajukan eksepsi, sidang lanjut ke pembuktian. Silahkan penuntut umum menghadirkan saksi saksi pada hari Selasa tanggal 2 Juni,"kata hakim Cokorda sambil menutup persidangan.
Terpisah, Soemarso selaku penasehat hukum terdakwa mengatakan, perbuatan terdakwa bukan merupakan pelanggaran hukum.
"Menurut saya ini tindakan administrasi antara pimpinan dan bawahan,"jelasnya usai persidangan.
Terkait surat teguran yang ditudingkan dalam dakwaan jaksa, lanjut Soemarso, telah dicabut jauh sebelum proses hukumnya berlanjut ke pengadilan.
"Surat itu masa berlakunya 6 bulan dan sudah dicabut sejak 2017,"sambungnya.
Sementara rekan Soemarso, Nur Yahya mengatakan, surat teguran yang diberikan ke saksi pelapor telah sesuai dengan prosedur dan bukan kehendak terdakwa.
"Surat teguran itu diberikan berdasarkan keputusan komite medik,"ungkapnya.
Terkait keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang menyatakan saksi pelapor tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik, kata Nur Yahya, tidak dilakukan secara fair.
"Pasien yang mengeluhkan atas tindakan operasi tidak pernah diperiksa. Ini yang tidak fair, saya akan buktikan itu di persidangan,"tandasnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- HUT Kemerdekaan, Keluarga Pahlawan Kemerdekaan ini Dapat Kado dari Gubernur Jatim
- Bunga Mencekik Nasabah, Koperasi Lima Jaya Probolinggo Terancam Sanksi
- Minyak Goreng Langka dan Mahal Akibat Negara Dikelola Pedagang