Budaya Hip-Hop Bukan Sekadar Hiburan

Foto dok
Foto dok

BANYAK cara mengajarkan pendidikan Kewarganegaraan, karena pendidikan ini bersifat universal. Bukan cuma diajarkan di Indonesia, melainkan juga faktanya negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) pun menjadikan kewarganegaraan sebagai mata pelajaran utama selama setahun di beberapa negara bagian. Sedangkan di negara bagian lainnya, mata pelajaran kewarganegaraan berlangsung selama satu semester di sekolah-sekolah.

Topik-topik yang diajarkan dalam mata pelajaran ini diantaranya sejarah AS, sistem pemerintahan AS, kebebasan sipil, keadilan sosial, demokrasi, Pemilu di AS dan civic engagement (keterlibatan masyarakat). Cara mengajarkan mata pelajaran ini pun beragam. Tak melulu satu arah dari pengajar kepada peserta didik. Sebab, bisa pula berupa peran aktif peserta didik, seperti mengajak mereka untuk beragam kegiatan atau proyek kebangsaan.

Masa remaja Jabari M Evans, penulis buku ini, dilalui di Chicago. Walau ia kini sudah menjadi gurubesar bidang media dan ras di Universitas South Carolina, AS, namun kenangan masa remaja ketika diajar guru musik bernama Pak Baldwin tetap lekat dalam ingatannya. Evans bersekolah di  Ancona Montessori School yang berlokasi di bagian selatan Chicago. Walau Pak Baldwin seorang pianis namun ia tak kudet (kurang update) pada popularitas musik beken saat ini yang digandrungi remaja.

Usai jam sekolah, karena Evans dan beberapa temannya tertarik pada musik, Pak Baldwin menawarkan pelajaran ekstra bagaimana bermain drum dan menikmati hip-hop. Tentu saja, Pak Baldwin juga mengajarkan cara menjadi DJ. Ia juga memberitahu perkembangan teknologi yang membuat musik hip-hop enak dinikmati. Lebih dari itu, Pak Baldwin, tulis Evans, juga mengajak para siswa mengunjungi stasiun radio beken di Chicago WGCI dan ngobrol bareng Doug Banks, DJ legendaris.

Meski ngebet ingin jadi rapper, tapi Evans kemudian menyadari bahwa bakatnya adalah menulis. Pada usia 17 tahun, Evans diterima di program studi Komunikasi dan Budaya di Annenberg School for Communication, Universitas Pennsylvania, AS. Kegiatan kampus serta kesibukannya di berbagai acara yang berkaitan dengan budaya hip-hop terus dijalaninya. Ia bahkan menggunakan musik untuk membangun relasi sosial lebih baik di berbagai komunitas. Pesan-pesan moral atau isu menarik bisa tersampaikan melalui bait-bait musik.

Pesan-pesan itu kian meluas seiring pemakaian platform Okayplayer dan Napster. Mendorong tiap individu untuk berpartisipasi dan larut dalam wacana-wacana sosial serta budaya. Saling mengenal satu sama lain, baku paham dalam perbedaan. Karir bermusik Evans juga pelan-pelan meningkat. Begitu lulus, ia bersama para seniornya pindah ke Los Angeles untuk menapak karir musik lebih baik. Namun, usai berpisah dari perusahaan label rekaman pada 2012, ia kembali ke Chicago.

Sembari mempersiapkan diri untuk menjadi pengajar dan mengejar gelar master, Evans aktif di kegiatan komunitas sebagai pekerja sosial. Hip-Hop tetap menjadi minatnya. Ia menulis banyak makalah riset tentang budaya Hip-Hop di kalangan remaja. Bahkan ia memakai lirik Hip-Hop untuk terapi perilaku kognitif. Evans berjumpa dengan penyanyi rap Lil Mister, dan dari Mister ini Evans memperoleh penjelasan bahwa lirik musik yang digandrunginya berkait erat pada keseharian warga.

Tak semata hiburan, musik juga menjadi sarana penyalur emosi, keinginan dan pengalaman. Melalui musik, keluhan tersalurkan, keinginan tersampaikan, emosi tercurahkan. Berkat musik, Mister meneguhkan identitasnya serta memberinya kepercayaan diri. Evans banyak memperoleh inspirasi dari pergaulannya dengan para musisi Hip-Hop jalanan ini.

Banyak remaja mulai membiasakan diri dengan budaya Hip-Hop. Budaya ini menjadi modal sosial dalam sebuah komunitas. Para remaja penyuka musik Hip-Hop sering mengekspresikan situasi, pengalaman serta keinginannya. Dari lingkup pergaulan ini kemudian tumbuh rasa saling memiliki dan menghilangkan rasa inferioritas. Evans mengamati ini secara seksama.  

Setelah meraih gelar master, Evans bekerja di program mentoring Chicago Public School. Dari sini, ia lebih dalam mengobservasi kesenjangan yang terjadi antara siswa kulit berwarna dengan siswa kulit putih. Menurutnya, kesenjangan itu mengakibatkan kekecewaan luas terhadap administrator serta pembuat kebijakan.

Akibat lebih jauh, belum ada inovasi pendidikan untuk keluarga kulit berwarna yang berpendapatan rendah. Inilah yang memantik Evans untuk mendalami kaitan antara budaya Hip-Hop dan pendidikan kewarganegaraan. Ia tak sekadar mengamati penampilan remaja, namun lebih dalam, ia menggali fakta bahwa ada keterputusan afiliasi budaya, rendahnya keinginan vokasional, serta kendala siswa kulit berwana dalam menghadapi keseharian.

Buku berisi enam bab plus pendahuluan, glosari, tambahan metodologi ini tentu menjadi bahan yang bagus untuk mengkaji kaitan budaya remaja dan cara memantik rasa saling memiliki, kesadaran sebagai sebuah bangsa. Evans menggunakan budaya Hip-Hop sebagai perantara untuk memahami lebih mendalam bagaimana alam pikir dan rasa mendalam para remaja di tengah keseharian yang bisa jadi selalu dilihat tak berkait dengan rasa patriotisme atau cinta tanah air. Meski para remaja ini bagian dari sebuah bangsa.

Ala kulli hal, mengobservasi kebiasaan remaja secara mendalam dengan niat meningkatkan kesadaran mereka memang tidaklah mudah. Apalagi jika remaja itu punya rasa ego tinggi, apatis terhadap situasi dan jiwa patriotis yang merosot. Maka, dibutuhkan cara jitu menghadapinya. Dalam buku ini, Evans berusaha menunjukkan bagaimana budaya remaja adalah salah satu cara memantik rasa patriotis.

*Penulis adalah periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news