- Pelajaran dari Skandal Iran-Contra
- Kota, Big Data dan Akal Imitasi
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
MARI kita simak lebih dulu pidato Letnan Kolonel Frank Slade (diperankan Al Pacino) dalam film 'Scent of a Woman' yang dirilis tahun 1992. Berkat film itu, penampilan Al Pacino yang begitu prima memang pantas diganjar Academy Awards Oscar tahun 1993. Salah-satu segmen terbaik adalah ketika Letkol Frank Slade berpidato membela Charlie Simms (Chris O'Donnell) di sidang komite disiplin sekolah Baird. Begini cuplikannya.
''I'm not finished! As I came in here, I heard those words, "cradle of leadership." Well, when the bough breaks, the cradle will fall. And it has fallen here; it has fallen. Makers of men; creators of leaders; be careful what kind of leaders you're producin' here.''
(Saya belum selesai! Tatkala saya masuk ke sini, saya dengar kalimat, "tempat lahir kepemimpinan." Nah, saat dahan patah, buaian akan jatuh. Dan itu telah jatuh di sini; itu telah jatuh. Penanda manusia; pencipta pemimpin; hati-hati pemimpin seperti apa yang Anda hasilkan di sini)
Film itu sudah berlalu tiga dekade silam. Namun, ia masih begitu kuat membekas dalam ingatan, utamanya saat pidato Letkol Frank Slade yang layak dirujuk berkait soal kepemimpinan. Tempat lahir kepemimpinan bisa dimana saja. Di sekolah, di kampus, di kantor, bahkan di rumah sekalipun. Lokasi bisa dimanapun, tapi prinsip kepemimpinan dapat ditumbuh-kembangkan tanpa memandang latar-belakang.
Pelajaran lain dari film beken itu. Kepemimpinan terkait pada keberanian menghadapi kenyataan. Tidak bersembunyi di belakang siapapun yang punya kuasa, pengaruh dan duit. Charlie memegang prinsip tak akan mengadukan temannya walau diancam Trask, sang guru sekolah. Charlie bakal dikeluarkan dari sekolah jika tak segera memberitahu Trask siapa yang telah usil selama ini. Sedangkan George yang ikut jahil malah bersikap pengecut, berlindung di belakang ayahnya yang punya pengaruh ke dewan sekolah.
Calon pemimpin tentu bukan pengecut. Berani menghadapi kenyataan. Teguh memegang prinsip, apapun resikonya. Itulah salah-satu modal kepemimpinan (the leadership capital). Modal yang dimiliki calon pemimpin untuk berani menghadapi segala tantangan. Mengubah tantangan menjadi peluang. Menjadikan tantangan sebagai sumber inspirasi melakukan perubahan.
Bukan Jago Kandang
Modal lain dari kepemimpinan adalah ia bukan jago kandang. Bukan sosok yang hanya berani di lingkungannya, tapi mendadak ciut nyali saat berada di lingkungan berbeda. Keberanian melintas batas lingkungan sekaligus membaur pada lingkungan lain menjadi tolok ukur menilai apakah calon pemimpin punya keluasan sekaligus keluwesan bergaul. Tidak kuper, kurang pergaulan.
Calon pemimpin semacam itu tentu menjadi harapan masyarakat. Calon yang besar dari proses pemilihan demokratis. Bukan dipilih karena ia keturunan dari pendiri partai atau pemilik partai. Sosiolog sohor asal Jerman, Max Weber, suatu ketika menyebut calon pemimpin seperti itu sebagai ''Führerdemokratie'', demokrasi kepemimpinan. Dari demokrasi ini, calon pemimpin mengembangkan kharisma dirinya bukan hanya pada lingkungan dimana ia berasal. Namun, lingkungan lain pun mengakui potensi serta kharisma sang calon tersebut.
Untuk itu, kharisma calon pemimpin di bangun dari dalam dirinya. Bukan hasil fabrikasi orang-orang disekitarnya. Mahaguru ilmu kepemimpinan asal Universitas Princeton, Fred Greenstein, dalam artikelnya ''The Qualities of Effective Presidents'' yang dimuat pada jurnal 'Presidential Studies Quarterly' (2000) menyebut, seorang calon pemimpin kudu menunjukkan keterampilan sebagai 'public communicator', kapasitas keorganisasian, keterampilan politik, visi kebijakan publik yang jelas serta 'cognitive style' yang OK. Tidak sembarangan dan bukan sembarang orang.
Observasi Greenstein tentu bukan cuma berlaku di AS, negeri biang demokrasi. Namun, hasil observasi itu juga berguna sebagai rujukan melihat sampai sejauhmana seorang calon pemimpin di Indonesia mempunyai keterampilan yang menjadikannya bukan jago kandang. Dengan keterampilan andal, seorang calon pemimpin mampu meyakinkan komunitas di luar komunitas asal, untuk memilihnya.
Kendala utama yang dihadapi calon pemimpin di Indonesia saat ini sesungguhnya tidak berasal dari dirinya. Melainkan, bisa berasal dari buzzer dan partai politik. Buzzer sering berupaya menghambat seorang calon pemimpin keluar dari lingkungannya dan masuk ke lingkungan berbeda. Segala bentuk prasangka atau praduga dari buzzer kepada calon pemimpin bisa mempengaruhi lingkungan. Walaupun, hasil kerja buzzer juga bisa membangkitkan rasa penasaran publik di lingkungan tersebut.
Partai politik sarat feodalisme juga menjadi kendala bagi seorang calon pemimpin untuk bisa diterima publik di lingkungan berbeda. Perilaku parpol semacam itu menjadikan calon pemimpin sebagai jago kandang. Hanya sohor untuk lingkungannya, tapi dipertanyakan kemampuannya oleh publik di lingkungan berbeda.
Membangun Tradisi Baru
Soal kepemimpinan sebenarnya sudah setua usia manusia. Sejak manusia hadir di muka bumi, lalu membentuk komunitas, sejak saat itu manusia mulai berlatih memilih pemimpin, proses memilih, ada deretan calon dan segala macam.
Fakta sejarah menunjukkan proses pemilihan pemimpin, terutama pemimpin politik, selalu diwarnai perhitungan, gesekan sampai gejolak. Ada intrik, ada kasak-kusuk, baku sikut, saling serang, sebar isu. Sebaliknya, ada pula kolaborasi dan kompromi. Pemilihan pemimpin selalu penuh dinamika, sarat gejolak. Meski tujuannya cuma satu, calon pemimpin yang didukung bisa diterima semua pihak, lalu terpilih jadi pemimpin.
Ala kulli hal, selama proses pemilihan pemimpin, selalu berkait pada kualitas cum kapasitas. Jarang, bahkan mungkin tak ada, penilaian hanya ditujukan pada kualitas apalagi cuma pada kapasitas. Kualitas personal mendorong penilaian kepada kapasitas, sebaliknya kapasitas personal membuat orang lain ingin mengetahui kualitas.
*Peneliti pada JPIPNetwork
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Pelajaran dari Skandal Iran-Contra
- Kota, Big Data dan Akal Imitasi
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga