Bukan Perang Biasa

Buku Cyberwarfare/Ist
Buku Cyberwarfare/Ist

DALAM sejarah perang modern sejak perang dunia pertama yang berlangsung pada 28 Juli 1914–11 November 1918 maupun pada perang dunia kedua yang pecah pada 1 September 1939 hingga 2 September 1945, belum ada pemakaian jagat maya secara masif. Semua terbatas pada perangkat keras yang didukung dengan hasil perkiraan atau analisa. Meskipun pemakaian kata ''siber'' (alias ''cyber'') sudah digunakan oleh matematikawan MIT, Norbert Wiener, pada akhir dekade '40an.  

Istilah siber saat itu mengacu pada kajian sistem kendali dan komunikasi antara manusia dan mesin. Diantaranya, bagaimana mekanisme mesin harus sejalan dengan apa yang diinginkan manusia. Hal ini berkaitan pada filosofi dasar, kehadiran mesin adalah untuk manusia. Ketika mesin hadir dalam sejarah peradaban umat manusia, peran dan fungsi mesin memang ditujukan membantu kerja-kerja umat manusia untuk produktivitas. Filosofi ini tetap dipegang, termasuk saat kajian hubungan antara kendali manusia pada mesin mulai menjadi kajian tersendiri.

Diksi ''siber'' sendiri merujuk pada kata sibernetika. Diksi ini berasal dari bahasa Yunani ''Kubernetes''. Bermakna pengendali dan ditujukan pada siapa saja yang menekuni sains komputer, teknologi dan ilmu-ilmu yang berkaitan pada komputer dan mesin. Belakangan, kata ''siber'' juga diarahkan pada segala sesuatu yang berkait dengan pemakaian internet. Termasuk pemanfaatan internet untuk sistem pertahanan serta keamanan. Maka, berbagai istilah baru semburat dalam dua dekade ini. Diantaranya ''cyberwarfare'' (perang siber). Perang canggih, bukan sekadar pamer senjata. Tak semata mempertontonkan perangkat militer.

Dua pakar keamanan internasional dari King's College, UK, Tim Stevens, dan Joe Devanny, memaparkan bahwa selama 40 tahun belakangan ini jaringan komputer lintas negara merupakan sarana penting dalam perang siber. Jika semula jaringan itu selalu dianggap sebagai cara warga dunia saling berkomunikasi, selalu berinteraksi dan terhubung bersama. Namun, kenyataannya kini, jaringan itu justru bisa berubah menjadi sarana melumpuhkan lawan. Bisa dimanfaatkan meruntuhkan negara rival.

Itulah salah-satu esensi dari perang siber. Perang masa kini dan mendatang. Beberapa konflik dan pertikaian antarnegara kurang memiliki dimensi ‘siber’, seperti yang dipertontonkan dalam ‘perang panas’ Rusia lawan Ukraina sejak 2014, seperti halnya perang dingin antara Tiongkok dan Taiwan atau India dan Pakistan. Tujuan utama dari aktivitas yang dikelompokkan bersama sebagai ‘perang siber’ mengarah pada satu pernyataan sederhana: jika negara atau populasi target memiliki infrastruktur atau ketergantungan digital, hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan dampak sejalan dengan tujuan operasional dan strategis aktor tertentu. Oleh karena itu, kemampuan siber umumnya dilihat sebagai bagian dari perangkat tiap negara saat ini, yang dianggap sebagai instrumen lain dari kekuatan nasional.

Layaknya perang konvensional yang melibatkan aktor dan lembaga intelijen dan aksi-aksi penyadapan, manipulasi, propaganda serta agitas. Maka, perang siber yang dikupas oleh 36 pakar dalam buku ini juga menyoroti aksi-aksi sejenis tapi memakai jaringan internet. Seperti sabotase siber, subversi, dan spionase siber terjadi di mana-mana, dilakukan oleh berbagai aktor, dan hanya beberapa diantaranya yang merupakan lembaga negara. Yang dalam proses pemaduannya kemudian menciptakan kesan konflik digital global yang berlangsung di mana-mana mendekati perang konvensional. Hal ini mengadu domba negara-negara, yang badan militer dan intelijennya – dan proksi korporat dan kriminalnya – terlibat dalam aksi saling serang dan bertahan yang terus-menerus yang bertujuan untuk mengacaukan, melemahkan, dan mempermalukan lawan-lawan mereka.

Akhirulkalam, perang di masa mendatang tak cuma melibatkan serdaru organik yang sudah terlatih secara fisik. Namun, perang siber di masa mendatang justru juga melibatkan warganegara yang cerdas, jeli, cermat serta taktis dalam mengelola algoritma. Selamat datang di era perang siber.

*Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news