- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
PENGUASA kolonial selalu punya dalih untuk merampas wilayah. Selalu punya alasan untuk menaklukkan kawasan, bahkan jika perlu melakukan pembantaian besar-besaran. Itulah watak asli berbagai usaha dagang Eropa yang beberapa abad silam datang ke berbagai wilayah di Asia, Afrika maupun Amerika Latin. Awalnya, mereka hadir berpura-pura sebagai pedagang. Mereka bertransaksi dengan penduduk asli. Mereka melihat hasil bumi. Lama kelamaan nafsu kolonial mereka lebih dominan.
Pada akhir tahun 1842, Mayor Jenderal Perusahaan Dagang Inggris di India (British East India Company, BEIC), Sir Charles James Napier, secara sepihak mencaplok wilayah Sind (kini, wilayah Pakistan). Pencaplokan ini atas inisiatif Napier. Tidak ada otorisasi dari Kerajaan Inggris Raya yang menjadi inang dari BEIC. Alasan Napier, kawasan Sind menjadi tempat orang-orang barbar yang mengancam kekuasaan Kerajaan Inggris. Serangan Napier itu menewaskan 6000 penduduk lokal. Selanjutnya, Napier menguasai Hyderabad.
Begitu kabar dari India itu terdengar oleh kantor pusat perusahaan dagang tersebut di London, spontan Perdana Menteri Inggris Robert Peel mencap tindakan Napier itu bodoh plus memalukan. Namun, apa daya. Kabinet PM Inggris itu tak berkutik. Hanya bersuara, tak bermakna apa-apa. Anggota kabinet William Gladstone bahkan merasakan kabinet jadi loyo.
Ekspansi Napier ke Wilayah Sind di abad ke-19 itu menjadi salah-satu contoh bagaimana perusahaan dagang yang dilindungi negara melakukan aksi tanpa perlu otorisasi. Para pedagang haus wilayah selalu ingin berekspansi meski tanpa otorisasi. Dan kasus-kasus semacam itu selalu berulang dalam sejarah manusia. Seperti yang terjadi pada pemagaran/pengkavlingan wilayah laut di Indonesia, yang kini sedang hangat. Walau zaman sudah berganti, perilaku pedagang haus wilayah tetap abadi. Ekspansi tanpa otorisasi.
Buku ini mempertanyakan kenapa ekspansi seperti itu menjadi kelaziman dari kekuatan kolonial. Selain itu, sorotan juga ditujukan pada aktor-aktor yang bermain dalam upaya ekspansi tersebut. Aktor di lapangan yang sering berbeda sikap politik dari mereka yang berada di dalam pemerintahan pusat. Sikap Perdana Menteri Peel yang lebih suka membiarkan kawasan Sind tetap merdeka terlihat berseberangan dari keputusan Mayor Jenderal Napier yang justru melihat kawasan Sind dihuni mereka yang bisa menjadi ancaman.
Dalam kajian-kajian hubungan internasional, ekspansi tanpa sengaja atau juga biasa disebut ekspansi minus otorisasi, saat ini jarang diulas. Padahal, fakta hari ini menunjukkan bagaimana negara-negara adidaya masih kerap melakukan cara-cara ekspansif seperti itu. Beberapa tahun silam, ketika usai peristiwa 9/11 di New York AS, pemerintah AS mengkumandangkan kebijakan ''War on Terror'' dan ''Enduring Freedom''. Kebijakan ini dalih AS untuk mengekspansi wilayah Afghanistan, Iraq, bahkan Libya.
Kasus serupa terjadi di Gaza hari ini. Juga ekspansi teritorial. Intelektual John Mearsheimer menggulirkan teori realisme ofensif yang menempatkan aktor negara adidaya selalu memilih ekspansi teritori sebagai tujuan politik mereka. Begitupula Dan Altman, yang melihat ekspansi wilayah sebagai wujud kalkulasi politik penuh resiko dari para aktor negara adidaya, yang justru melihat keuntungan di balik ekspansi yang digelar.
Penulis buku ini adalah mahaguru ilmu politik Universitas George Washington, AS. Dalam tujuh bab plus pendahuluan dan kesimpulan, Andersen menjabar sejarah ekspansi tanpa otorisasi tersebut yang berlangsung di sejumlah wilayah. Kasus di Asia Tenggara dilakukan oleh Prancis. Pada Oktober 1873 dan Maret 1874, pasukan Prancis melancarkan serangan ke Saigon dan Tonkin. Agen-agen Prancis merasa sanggup untuk melancarkan serangan secara cepat dan efektif. Tentu saja, tak perlu diketahui pemimpin mereka di Paris.
Namun, pasukan Prancis terbukti kedodoran usai setahun perang melawan Prussia pada 1870-1871. Serangan ke Saigon dan Tonkin berantakan. Tonkin yang berada di wilayah utara dari Kerajaan Vietnam dibawah kendali dinasti Nguyen yang dipimpin Tu Duc. Jean Dupuis, pedagang senjata Prancis, diam-diam pada 1871 mengirim kargo berisi peralatan perang tanpa sepengetahuan Kementerian Angkatan Laut dan Koloni Prancis. Upaya Dupuis ini bocor ke otoritas Prancis di Hanoi pada 1873. Dupuis pun ditahan. Ketegangan meningkat antara organisasi Dupuis dan pejabat lokal Vietnam. Dupuis dianggap ingkar janji, ketegangan mengarah ke konflik.
Untuk meredakan ketegangan, Gubernur Cochinchina, Laksamana Marie Jules Dupré, meminta bantuan Kapten Marie Joseph François Garnier. Alih-alih ketegangan mereda, yang terjadi justru Dupré bersama Garnier menjadi aktor untuk mencaplok Tonkin tanpa otorisasi dari petinggi di Paris pada 1873.
Tampaknya, sejarah selalu berulang. Cara-cara pencaplokan wilayah yang dulu dilakukan organisasi misi dagang atau perusahaan dagang, kini sering berulang. Negara asing memberi keleluasaan pada perusahaan dagangnya, bahkan melindungi perusahaan tersebut asalkan perusahaan itu mampu memberi keuntungan bagi negara inangnya. Eksploitasi di wilayah koloni sering terjadi karena inisiatif perusahaan asing yang belakangan baru direstui negara induknya.
* Penulis adalah periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas