Dikotomi TNI Aktif dan Masyarakat Sipil

Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Ist
Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Ist

SEMULA pembagian kekuasaan di dalam pemerintahan adalah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Belakangan pilar pembagian kekuasaan dalam demokrasi ditambahkan adalah pers atau press. Pers sebagai suatu media massa yang bersifat untuk kegiatan informasi. Informasi untuk menghubungkan antara kepentingan pemerintahan dengan masyarakat. 

Selanjutnya pers juga menjalankan agenda informasi untuk keberlanjutan pemerintahan jangka panjang untuk maksud membangun keseimbangan. Kata pers dimulai dari kalangan negara maju bertransformasi sebagai press.

Informasi yang dibangun oleh media massa untuk menekan pemerintahan menuju perbaikan keseimbangan. Untuk membangun keberlanjutan berdimensi jangka panjang dalam menjaga keutuhan dalam berbangsa dan bernegara.

Walaupun sebagian pengamat politik dan politikus yang berpihak kepada kepentingan TNI menyatakan bahwa Revisi UU TNI membantah potensi kembalinya Dwi Fungsi ABRI (TNI) pada periode reformasi sekecil potensi apa pun, namun keberadaan “fraksi” di luar pemerintah dan DPR, dimana aspirasi tersebut disuarakan oleh press berpraktik sebaliknya.

Sekuat apa pun argumentasi pemerintah dan DPR, yang terjadi adalah kebangkitan perlawanan perwakilan masyarakat sipil dan mahasiswa yang semakin giat menolak Revisi UU TNI selama kepentingan “fraksi” tadi hanya sebatas didengarkan dan dipertimbangkan, namun tidak terlibat dalam proses internalisasi pengambilan keputusan.

Kekuatan kebangkitan “fraksi” tersebut ditunjukkan antara lain berupa insiden tembok DPR RI Senayan jebol dengan menggunakan tarikan tambang dari massa perwakilan mahasiswa. Ambruknya tembok DPR bukanlah peristiwa yang pertama kali terjadi. Tembok yang jebol menjadi sinyal bahwa persoalan dikotomi TNI aktif masih menjadi masalah yang serius.

Juga menjadi sinyal bahwa mekanisme tata tertib peraturan perundang-undangan dalam persetujuan pengesahan RUU TNI pada pengambilan keputusan tingkat pertama pada level kesepakatan pada suara terbanyak keputusan fraksi-fraksi dan pemerintah dalam Panitia Kerja Komisi, maupun proses pengambilan keputusan tingkat kedua suara terbanyak pada mekanisme sidang paripurna DPR RI, pun gagal mengatasi arus deras aspirasi di luar kepentingan pemerintah bersama koalisi partai politik penguasa.

Walaupun sidang paripurna DPR RI sudah diselenggarakan sepagi mungkin dan seawal mungkin dari sederetan agenda pengambilan keputusan, serta dihadiri oleh hampir semua anggota DPR, namun persetujuan suara mayoritas dari anggota DPR yang telah mengesahkan UU TNI pun terbukti “gagal” untuk menghindar dari penolakan perwakilan “fraksi” di atas.

Taktik “bleitzkreigh” proses persidangan UU TNI terkesan “gugur” oleh jebolnya tembok bagian depan gedung DPR. Jebol oleh tarikan tambang.

Sekalipun demonstran relatif tidak dipersenjatai sebagaimana kelengkapan petugas kepolisian, yang dibantu petugas TNI menggunakan persenjataan sipil ringan, namun hanya peralatan “water canon” yang mampu mengalahkan tarikan tambang dari demonstran.

Entah apa yang terjadi, jika demonstran diperkenankan menggunakan peralatan yang serba sama persis dibandingkan dengan petugas keamanan.

Sebenarnya masalah yang terjadi pada kegagalan dalam menjelaskan tentang dikotomi TNI dan masyarakat sipil adalah berakar pada ketidakcocokan antara rincian teks tertulis dalam pembahasan definisi dalam RUU TNI.

Misalnya jalan tengah terhadap potensi penyalahgunaan petugas TNI aktif pada jabatan sipil adalah petugas TNI pensiun, namun pada kenyataannya petugas yang dilantik pada jabatan masyarakat sipil masih menyandang sebagai petugas TNI aktif.

Bukan hanya satu orang dan bukan hanya soal waktu, namun lebih dari satu orang.

Walaupun jabatan petugas masyarakat sipil dalam pemerintahan dapat sewaktu-waktu meminta bantuan dari petugas TNI aktif untuk memberlakukan mekanisme di bawah kendali operasi dengan penataan batas waktu bawah kendali operasi (BKO), namun tetap saja petugas TNI aktif ditugaskan dalam struktur organisasi pemerintahan masyarakat sipil.

Fenomena ini tetap terjadi sebagaimana karakteristik bahwa petugas TNI terkesan tetap ingin berperan ganda secara aktif pada banyak divisi dan lini pada struktur organisasi kepemerintahan sipil secara bertahap telah terbukti diberlakukan secara berulang-ulang.

Terkesan menolak bertindak “tut wuri handayani”, melainkan senantiasa terkesan berpraktek ingin melakukan kegiatan intervensi dalam bentuk “ing ngarso sung tuladha”, dan “ing madya mangun karso”. Di samping itu, masih banyak lagi praktek ketidakcocokan antara tulisan teks RUU dengan praktik di dunia nyata.

Penghalusan kata-kata restriksi dari 10 jabatan kementerian menjadi 14, itu tetap saja bukanlah penghapusan Dwi Fungsi TNI, melainkan sebagai bentuk penghalusan kata-kata, yang mengingkari proses politik jalan tengah dari penggunaan persyaratan pensiun.

Menghapus ketentuan dari penggunaan pasukan dan persenjataan militer sewaktu-waktu. Menghapus militer berdaya komando aktif. Menghapus taktik “tut wuri handayani”.

Masyarakat sipil sudah kenyang dengan penggunaan strategi ”blietzkreigh”. Serangan kilat dalam proses persidangan pembentukan UU, sudah terlalu sering dipraktekkan. Masyarakat sipil sudah sulit dikurangi pemahaman antara penyampaian taktik informasi dari metoda press menjadi pers. Itu terjadi pada media arus utama, terlebih pada media sosial dan media pinggiran.

Bukan hanya masyarakat sipil secara sosial, melainkan juga pada masyarakat investor sebagaimana disajikan dalam bentuk sinyal kejatuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang terjadi lebih awal dibandingkan insiden demonstrasi menjebol tembok DPR.

Akan tetapi tidak seorang pun yang mempunyai “track record” mampu melawan arus mudik lebaran. Lebaran sedunia, sekalipun perwakilan asosiasi perusahaan swasta menyampaikan prediksi bahwa masyarakat yang akan mudik lebaran tahun 2025 turun sebesar 24 persen. Demikian pula mengenai potensi arus menolak UU TNI.

Jika dan hanya jika setelah UU TNI secara formal diundangkan dalam lembaran negara, baik ditandatangani atau tidak ditandatangani oleh Presiden, maka peta penolakan mungkin akan berlanjut berupa uji prosedur perundangan dan uji materi dalam mekanisme Mahkamah Konstitusi.

Setelah lebaran 2025 usai, hanya ujian tengah semester dan ujian akhir semester akan membuat mahasiswa kembali ke kampus. Mahasiswa tidak akan sibuk berdemonstrasi. Tidak juga dapat dengan cara menghapus mata kuliah politik dan hukum, atau pun praktik depolitisasi.

Bagaimanapun penataan model “bleitzkreigh” dalam penyusunan Undang-Undang bukanlah taktik jitu lagi. Metoda penghalusan kata-kata dan definisi bagaimana pun tidak dapat membatalkan metoda “parle”, yaitu perdebatan yang memerlukan waktu yang cukup untuk meminimalkan berbagai penolakan dari “fraksi” di luar perwakilan partai politik dan pemerintahan secara wajar.

Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana

ikuti terus update berita rmoljatim di google news