- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
- Ironi Politik Tekno-moral Negeri Hindustan
DUKUN menjadi topik pembicaraan. Praktek-praktek perdukunan bukan cuma menarik dari sisi akademis untuk dikaji, terbukti begitu banyak hasil karya ilmiah yang membahas topik dukun dan perdukunan di tanah air. Namun, yang tak kalah menariknya, dukun dalam keseharian masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan, ternyata masih dicari masyarakat. Ingin cepat dapat jodoh, ada yang meminta bantuan dukun. Mau berwibawa menjelang perhelatan politik, ada pula yang butuh jasa dukun, agar mampu menarik massa. Aneka macam jasa dukun.
Fenomena dukun dan praktek perdukunan ternyata bukan hanya di kawasan Asia, sebab kenyataan menunjukkan masyarakat di AS dan Eropa pun masih ada yang pergi ke dukun untuk berbagai kebutuhan. Malah bisa ditarik jauh ke masa lampau, saat masyarakat Eropa atau AS pada abad ke-18 masih sangat terpengaruh pada sihir, kekuatan supranatural atau mistis. Kisah-kisah penyihir alias dukun menghiasi sejarah perjalanan masyarakat AS dan Eropa. Penyihir hadir baik di masa lalu maupun di masa modern saat ini.
Bahkan, penyihir dan dukun muncul sebagai produk yang saling terkait dari aliansi kotor dalam pembentukan formasi onto-politik modern. Sihir berwujud sebagai obyek yang mengancam di seluruh Eropa dan Atlantik seperti sapi mendadak mati dan tanaman yang rusak, inkuisitor/penyelidik aliran sesat yang tiba-tiba mengadakan perjanjian dengan iblis. Mesin cetak ikut menyebarkan pengetahuan tersebut, teknologi untuk mendapatkan pengakuan/testimoni. Dan terjadi kontestasi antara negara dan ahli-ahli teologi, kedua kubu bersaing atau bersekutu melawan orang-orang (seringkali wanita tua) yang dituding sesat dengan sedikit pendukung di antara tetangga atau kerabat mereka.
Selama tiga abad pelayaran orang-orang Eropa ke berbagai wilayah di Afrika, Asia dan Amerika Latin, dukun atau penyihir juga tersimpan dalam benak para pelaut-pelaut Eropa itu. Penulis buku ini melacak ke arsip-arsip yang tersimpan di Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (Lembaga Kerajaan untuk Bahasa, Tanah dan Budaya/KITLV) di Leiden, Belanda. Literatur perjalanan, regulasi pemerintahan kolonial, dan fiksi menjadikan dukun dan penyihir sebagai hal yang penting di Asia dan Afrika, dan juga dalam disiplin antropologi.
Penulis buku ini berargumen, bahwa sihir bukanlah fenomena lintas sejarah dan lintas budaya. Dibawa oleh orang Eropa ke seluruh dunia, pengetahuan tentang sihir merupakan unsur penting dalam proyek penjajahan, membedakan orang Eropa dari yang lain, dan memperkuat realitas beberapa dunia (terutama yang diringkas dan secara ideologis dimaknai sebagai Sains) dengan mengorbankan yang lain.
Maka, tujuan penulis buku ini adalah pelacakan beberapa perjalanan pengetahuan sihir melintasi waktu dan ruang, melihat apa yang telah dikumpulkan dan gesekan yang ditimbulkannya saat bergerak. Penggalian data yang tersimpan dalam arsip-arsip Belanda abad ke-19 dan awal abad 20 dilakukan secara seksama. Ketika orang-orang Eropa, misalnya Portugis, Spanyol dan Belanda, tiba di nusantara, mereka menemukan praktek-praktek perdukunan atau sihir merupakan keseharian yang lumrah di masyarakat nusantara.
Dukun atau penyihir bahkan menempati posisi penting dalam masyarakat yang punya susunan hirarkis. Suara, saran atau nasehat dukun sering menjadi acuan warga masyarakat dan elit kerajaan. Para dukun dianggap mempunyai kemampuan menerobos ruang-waktu sebelum memberi saran atau nasehat. Jampi-jampi dukun dan sihir memang sulit dimengerti orang awam, tapi disitulah letak kekuatan dukun atau penyihir di nusantara. Jampi-jampi adalah kesaktian mereka.
Memahami bahasa sihir dan perdukunan memang butuh upaya ekstra. Tidak mudah memahami konten jampi-jampi sihir itu meski sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Ada nuansa kebahasaan yang kadang tertinggal tatkala diterjemahkan. Inilah salah-satu keunikan buku ini, karena untuk memahami makna jampi-jampi sihir dari nusantara, penulis melakukan eksplorasi kebahasaan yang mendalam melalui kerangka keilmuan lintas disiplin.
Melalui enam bab ditambah dengan pendahuluan dan kesimpulan, buku ini benar-benar mengeksplorasi situasi perdukunan dan sihir pada masa kolonial di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Praktek-praktek perdukunan menjadi realitas sehari-hari masyarakat. Orang yang datang ke dukun atau tukang sihir sama sekali tak menunjukkan kecanggungan atau sembunyi-sembunyi. Malah, kedatangannya sering diikuti teman atau pengawal.
Bagi warga Hindia Belanda, dukun adalah ''traditional healer''. Penyembuh dari sakit raga atau jiwa. Jika warga terasa resah, ia pergi ke dukun atau biasa juga disebut ''orang pintar''. Pintar dalam olah batin, pintar dalam olah jiwa. Meski dalam proses menyembuhkan, jampi-jampi ''orang pintar'' belum tentu bisa dipahami oleh orang awam. Yang penting, jampi-jampi itu manjur atau bersifat cuma sugestif pada pasien.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda menaruh perhatian terhadap praktek dukun ini, karena aparat kolonial tahu, bahwa dukun atau ''orang pintar'' sering menjadi rujukan warga inlander. Meski tak bisa dipungkiri, banyak juga orang-orang Belanda pada masa itu yang juga memakai jasa dukun atau ''orang pintar'' untuk kebutuhan bisnis, urusan pemerintahan atau keluarga.
Akhirulkalam, fenomena dukun dan sihir di Hindia Belanda memang sudah lama ada. Namun, mengkaji kehadiran dukun, penyihir dan jampi-jampi di masyarakat baru dilakukan secara akademis pada saat pemerintah kolonial Hindia Belanda melibatkan beberapa pakar Indologi di sejumlah tempat saat itu.
Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
- Ironi Politik Tekno-moral Negeri Hindustan