Effendi Gazali: Ketika Press Menuju Distorted Press

Pidato perpisahan lepas gelar profesor pakar komunikasi politik Effendi Gazali/Repro
Pidato perpisahan lepas gelar profesor pakar komunikasi politik Effendi Gazali/Repro

Pakar komunikasi politik Effendi Gazali melepas gelar profesor yang disandangnya. Dalam sambutannya, Effendi Gazali menyoroti "prilaku menyimpang" di kalangan pers.


Untuk menggambarkan kondisi pers sekarang ini, khususnya di Indonesia, Effendi Gazali membuat satu istilah yang diramunya dari pencetus teori media massa (mass media) Dennis McQuail dan pendiri Kompas Media Group, almarhum Jakob Oetama.

Mulanya, dia menyatakan bahwa pers yang dalam bahasa Inggris Press sudah tidak memiliki kesesuaian makna, sehingga dirinya tercetus sebuah istilah baru yang disebut sebagai Dis-Press.

"Press sudah jadi Dis-Press. Ini sama dengan istilah order (teratur) menjadi dis-order. Kalau dibawa ke bahasa Inggris juga bagus. Dis-Press juga bisa berarti distorted press atau pers yang mengalami distorsi. Artinya mentality dan morality twisted. Sengaja diplintir," ujar Effendi Gazali dalam video berdurasi 30 menit yang diunggah kanal Youtube Refly Harun dan dikutip redaksi pada Kamis (29/4).

Effendi Gazali menegaskan, istilah Dis-Press yang dicetuskan ini tidak lahir begitu saja. Di dunia, fenomena dari istilah ini mawujud, dan menggila di negara-negara dengan pendidikan yang kurang baik.

"Utamanya karena mengedepankan kecepatan, saling berlomba upload, atau unggah berita lebih dulu. Akibatnya akurasi dan kode etik ditinggal jauh," sambungnya.

Di sisi lain, strategi click bait atau memakai judul sensasional yang semakin menggila, menurut Effendi Gazali menjadi satu bentuk dari Dis-Press itu sendiri. Padahal di sisi yang lain, hal itu merupakan cermin dari kemiskinan kreatifitas.

Dia mengungkapkan pandangan Profesor Dennis McQuail, pencipta grand theory mass communication, media performance, media responsibility, media accountability and audience analatycs, yang merasa khawatir dengan cara mengajarkan jurnalisme pada era media baru ini.

"Di sekolah-sekolah yang baik saja kita khawatir apalagi jika tidak demikian kualitas sekolahnya. Belum lagi kalau orang bisa mengaku sebagai bagian pers tanpa pendidikan yang baik," kata Effendi Gazali dilansir Kantor Berita Politik RMOL.

Selain itu, Effendi Gazali juga melihat perspektif tokoh pers nasional almarhum Jakob Oetama yang mencemaskan prinsip dampak (impact) dari pola pemberitaan media mainstream sekarang ini.

"(Jakob Oetama) sangat mencemaskan kekurangan huruf 'i' yang seharusnya ditambahkan pada prinsip 5W dan 1H. Beliau sangat khawatir kehilangan hurf 'i' singkatan dari impact, yaitu dampak yang dalam, yang menurut saya bisa berarti irresponsible yang tidak bisa ditarik kembali, apabila anda melakukan kesalahan akurasi apalagi yang disengaja, the damage has been done," tuturnya.

"Fenomena yang baru saya sampaikan di sini, Dis-Press atau yang sebetulnya sudah bukan pers lagi bisa pula terjadi, karena berbagai kerjasama dengan media, baik kerjasama dengan redaksi serta pengadaan buzzer yang massif," demikian Effendi Gazali.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news