Fenomena Mendadak Wartawan Daerah

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

MASIH dalam suasana hari pers nasional (HPN) 2025 momen tepat untuk menumpahkan isi hati (baca uneg-uneg) dengan menulis perkembangan dunia jurnalis. Sekaligus menjawab request dari teman lama, teman kuliah di fakultas ilmu komunikasi (fikom) jurnalistik Unitomo Surabaya. Cak Bagus namanya wajahnya mirip Iwan Fals, rupanya dia membaca opini yang saya tulis kemarin.

Dia ingin saya menulis fenomena oknum LSM yang mendadak jadi wartawan maupun sebaliknya. Saya tambahin cak!! mungkin bukan dari oknum LSM saja. Karena kadang ada juga misalnya dari penjaga angkringan, security, preman, penjual kopi dan sebagainya bertransformer mendadak menjadi wartawan dan itu fakta kisanak.

Melihat kondisi ini teman senior jurnalis tv nasional bang Doel berkeluh kesah, dengan suara lirih mengatakan profesi yang digelutinya kini sudah tidak punya wibawa dan kehilangan marwah.

Jadi begini fenomena mendadak wartawan muncul karena arus digitalisasi yang luar biasa, yang kemudian mendorong lahirnya ribuan media baru di Indonesia. Alih-alih bukannya meningkatkan kualitas jurnalis tapi malah menciptakan fenomena mendadak wartawan yang seringkali dijumpai saat press realese di Polres, Kejaksaan, Instansi pemerintah maupun swasta dan berjubel-jubel.

Dari data Komite Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas (KTP2JB), jumlah media baru di Indonesia diperkirakan mencapai 50 Ribu.

Angka ini dihitung berdasar jumlah daerah otonom yang mencapai 514. Dengan asumsi rata-rata terdapat 100 media disetiap daerah. Dari sejumlah itu hanya sedikit yang telah terdaftar di Dewan Pers dari 50 ribu yang terdaftar hanya 1.793 terverifikasi cuman  997 perusahaan.

Dari sini kita pahamkan, lahirnya ribuan media baru itu ditingkat skala lokal melahirkan fenomena mendadak wartawan. 

Kemudian dengan gampangnya meminta kontrak kerja sama dengan pemerintah. Biasanya terjadi di periode akhir menuju awal tahun ditandai dengan proposal dibawa kesana kemari dengan riang gembira.

Semacam usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang mengejar profit bukan memperbaiki atau mengedepankan kualitas seorang jurnalis. Alhasil filosofi pers sebagai pilar keempat demokrasi semakin menyimpang dari makna (terdistorsi).

Dewan pers sendiri sudah sering kali menghimbau tapi apa didengar? Mana mungkin, karena setelan dari pabrik sudah begitu. Sudah tidak mengenal kode etik jurnalistik (KEJ) apalagi uji kompetensi wartawan (UKW).

Dewan pers sendiri dilema mau menerapkan aturan yang berlebihan takutnya nanti kembali ke masa Departemen Penerangan tapi kalau dibiarkan semakin keterlaluan.

Namun, masih ada secercah harapan dari permasalahan yang dibahas ini. Sedikit masukan buat pemerintah daerah setempat. Antisipasinya Pemda setempat membuat semacam regulasi bisa jadi bentuknya mungkin semacam peraturan Bupati (Perbup). Isi Perbup tentang syarat untuk bekerja sama dan mendapatkan kontrak iklan, mungkin media harus minimal berumur 2 tahun kemudian terverifikasi Dewan Pers, wartawannya sudah UKW dan pemrednya mengantongi kompetensi utama dan sebagainya. 

Kedua pemerintah setempat mengubah pola pikir tentang tata cara memilih media dengan menggunakan data berbasis Google Analytic untuk menilai jumlah pembaca media. Seperti yang digunakan di kota Madiun. Ketiga berani melakukan evaluasi hasil kerjasama dengan media kalau sekiranya tidak memberikan dampak, kalau tidak efektif segera dieliminasi.

Awal-awal pasti akan muncul gejolak dengan persyaratan tersebut. Bukannya menghambat pertumbuhan media tapi untuk melindungi awak media dari mereka yang tiba-tiba mendadak wartawan. Terpenting lagi bisa mengembalikan wibawa profesi wartawan. Jadi tidak terkesan begitu mudahnya untuk menjadi wartawan. Selamat hari Senin.

*Penulis adalah wartawan RMOLJatim

ikuti terus update berita rmoljatim di google news