RESSY Elang Andrian adalah penghobi naik gunung. Suka yang berbau-bau outdoor. Kita punya hobi sama. Dulu saya juga suka naik gunung. Waktu kuliah. Gunung terakhir yang saya naikin Rinjani.
Bedanya, saya sudah 'tutup buku' dengan hobi ini. Sedangkan Ressy, dia masih berkutat di dunia tersebut. Dia memang jarang terlibat dalam pendakian. Tetapi hobi tersebut disalurkan dalam bentuk film. 11 12 dengan teman saya Budiawan Ahmat Haris yang juga redaktur RMOLJatim. Budi punya hobi naik gunung. Kita pernah mendaki bersama di gunung Semeru. Kini Budi punya bisnis tak jauh dari hobinya: rental outdoor.
Budi dan Ressy sama. Menyelami hobi menjadi bisnis. Hobi Ressy disalurkan menjadi film. Ya, dia termasuk sineas muda Tanah Air. Ressy memiliki skill sebagai sutradara merangkap kameramen. Hampir semua film-filmnya dia garap sendiri. Disutradarai sendiri. Pengambilan gambar dilakukan sendiri.
Tema film yang dia garap tak jauh dari yang namanya pendaki gunung. Film pertama besutan Ressy yang saya tonton adalah film dokumenter Herman O Lantang (HOL) di kantor Harian Disway, Jalan Walikota Mustajab No.76, Surabaya, Oktober 2021. Yang hadir mayoritas pecinta alam. Saya lupa menanyakan apakah film HOL adalah karya dia yang pertama atau yang kesekian.
Film HOL berdurasi 1 jam 40 menit. Menceritakan sosok Herman Lantang, seorang pendaki gunung sekaligus pendiri Mapala UI (Universitas Indonesia). HOL teman baik Soe Hoek Gie.
Di Surabaya sudah dilakukan 5 kali pemutaran. Filmnya cakep. Keren. Setelah itu, film tersebut berjalan keliling dari satu kota ke kota lain. Meminjam istilah Ressy: roadshow.
Film HOL kini bisa ditonton free di YouTube di channel Tanah Picture. Dibuat berseri sama pemilik akun, ya si Ressy.
Setelah film HOL, Ressy tidak berhenti berkarya. Dia terus menggarap film-film dokumenter lainnya. Secara berseri. Dari satu tokoh ke tokoh lain. Dari para sesepuh gunung ke sesepuh lainnya.
Kemarin saat saya bertemu di pemutaran film berjudul Djajo di kantor Harian Disway pada Minggu, 17 November 2024, Ressy bercerita sudah menggarap film berseri tokoh-tokoh gunung. Dia mengklaim punya 'buku besar'. Berisi kumpulan tokoh-tokoh pendaki gunung Indonesia.
Dari situ mulailah digarap film berseri. Ada sosok Johny Wiro Sableng, Yon Artiono Arba'i, Syamsirwan 'Ichien', Mariza Syahrial, Sabar Gorky si pendaki berkaki satu, Djukardi 'Bongkeng' Adriana dan masih banyak lain yang bisa ditonton di channelnya.
Dan terakhir, tentu film Djajo alias Djawa Jorok. Kata Ressy, nama Djajo adalah panggilan karena yang bersangkutan jarang mandi. Nama aslinya Dondy Rahardjo. Asalnya Madiun tapi sudah lama tinggal di Jakarta. Djajo termasuk pendaki gunung freelance. Dia tidak tergabung dengan organisasi pecinta alam lainnya. Namun track recordnya sangat fenomenal.
Ressy bercerita selama 10 bulan penggarapan film Djajo, banyak kontroversi terjadi. Tidak seperti film-film dia sebelumnya.
Selama menggarap film berdurasi 1 jam 20 menit itu, Ressy mendapat banyak telepon dari tokoh-tokoh pendaki yang pernah terjadi friksi dengan Djajo. Atau malah, tidak suka dengan Djajo.
"Ngapain bikin film itu, dia (Djajo) orangnya begini..." kata Ressy menirukan ucapan orang yang mengkritiknya.
"Kamu pasti bikin filmnya menyanjung-nyanjung dia (Djajo), padahal orangnya..." ucap Ressy menirukan orang lainnya.
Bahkan ada tokoh pendaki lain yang bilang tidak akan menonton film Djajo.
"Itu hak mereka," kata Ressy. Tetapi kalau mau jujur, siapa sih pendaki gunung yang tidak memiliki masa lalu kelam.
"Hampir semua pendaki saya rasa pernah mengalami masa-masa suram, yang sekarang diklaim orang-orang tidak baik alias buruk. Sebaliknya, mereka tidak bisa menafikan bahwa di sisi lain juga ada kebaikan dalam diri tokoh tersebut," ulas Ressy.
Ressy tidak mau memusingkan perkataan orang. Baginya film adalah sebuah karya. Siapapun tokoh yang dihadirkan, dan jika terjadi kontroversi maka sangatlah wajar. Justru, di situlah kekuatan dari tokoh-tokoh tersebut dihadirkan.
Terbukti, selama roadshow pemutaran film Djajo dari kota-kota besar di Indonesia, tidak sedikit para pecinta alam yang mengapresiasi film tersebut.
"Alhamdulillah, mereka mengapresiasi Djajo," tutur Ressy.
Sebagai sineas, Ressy sebenarnya punya keinginan untuk membuat film bertema lain dan tidak melulu di film-film tentang pendaki gunung. Pernah sekali dia sempat membuat film mengenai pendidikan anak-anak di gunung Bromo. Memang settingnya saja yang kebetulan di gunung. Namun tema yang diambil tidak ada kaitan dengan pendaki. Sayangnya, setelah beberapa pengambilan gambar, file yang disimpan di hardisk eror alias tak bisa dibuka.
"Itu murni film tentang anak-anak di gunung Bromo Tengger. Tapi filenya rusak. Entah apakah nanti bakal dilanjut atau tidak. Lihat dulu situasinya," ungkap Ressy dengan nada kecewa.
Sejauh yang saya tahu, sineas muda asal Jakarta itu tidak akan berhenti berkarya. Harapan saya tentu sangat besar. Sebagai sesama seniman, saya berharap Ressy bisa terus berkarya dan melahirkan film-film berkualitas. Dan, ketika karyanya diputar di cinema-cinema Indonesia, saya ingin jadi orang pertama yang menonton filmnya. Teruslah berkarya kawan!
* Wartawan Kantor Berita RMOLJatim
ikuti terus update berita rmoljatim di google news