Future Practices & Re-Up Skilling SDM Perti di Era Transisi 

Surokim As
Surokim As

PERGURUAN tinggi (perti) berada dalam situasi yang kompleks saat ini seiring dengan munculnya berbagai tantangan dan disrupsi global dan regional.

Perti menghadapi situasi yang tidak mudah pada masa kini dan mendatang seiring datangnya era Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity (VUCA).

Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi yang penuh dengan ketidakpastian, kerumitan, dan perubahan yang cepat. Kompleksitas masalah akan datang silih berganti menjadi tantangan nyata bagi para manajemen dan pengelola perti. 

Kompleksitas itu tentu saja bisa melahirkan berbagai spekulasi, ancaman sekaligus  peluang dan harapan baru. Perti dituntut mengembangkan sikap awareness, allertness, readiness dan mengambil berbagai aksi best practices & future practices.

Dalam situasi tersebut, Prof Arif Satria (2024) menyebutkan bahwa faktor penentu  keberhasilan orang dan lembaga  di abad-21 adalah meraka yang lebih responsif,   bisa cepat beradaptasi dalam menghadapi berbagai disrupsi. Untuk itu perlu langkah trajektori pengelolaan lembaga pendidikan tinggi ke depan lebih progresif, akseleratif, dan berdimensi masa depan (visioner). Strategi dan langkah ini  sungguh tindak mudah mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi sehingga diperlukan langkah antisipasi dan kemampuan membaca masa depan (future practices) lebih presisi. 

Adaptif dan responsif memang mudah dikatakan, tetapi sesungguhnya tidak mudah (sulit) dilakukan. Fleksibilitas dan agile menjadi salah stau tolok ukur daya respons dan adaptif civitas academica. Pengelola perti harus bisa memainkan orkestasi dalam perubahan itu untuk memeroleh daya saling. Mereka harus konsisten dan fokus kepada upaya memberi nilai tambah yakni menguatkan inovasi dan kreasi secara berkelanjutan. 

Tantangan Perubahan

Pengelola perti akan menghadapi situasi kompleks tidak saja di level lokal, regonal, tetapi juga global.  Tantangan makro global seperti perubahan iklim dan cuaca, revolusi industri 4.0, pandemi dunia, dan perang serta konflik internasional adalah beberapa disrupsi yang potensial bisa dan akan menghantui dunia global kini dan mendatang. Hal ini tentu saja akan membawa dampak krisis pada sektor strategis diantaranya lingkungan, energi, makanan, dan industri. Semua itu membutuhkan strategi transformasi, resiliensi, dan sustainability yang presisi dan responsi yang baik dari pengelola perti. 

Berdasarkan pengalaman, selama ini kita masih terlihat gagap dalam menghadapi perubahan lingkungan, khususnya kemampuan adaptasi kita terhadap perubahan teknologi. Daya tanggap kita  relatif lamban dan selalu ketinggalan jika dibandingkan dengan responsi bidang lain sehingga selalu ada gab yang tinggi antara perkembangan teknologi dengan bidang lainnya (individu, bisnis, dan kebijakan). Kebijakan perti tidak mampu menjadi antisipator, social engineering, tetapi lebih banyak menjadi kuratif dan pemadam kebakaran atas masalah yang muncul silih berganti. 

Selain itu perkembangan otomatisasi juga meningkat pesat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dari 33% pada 2020 menjadi 47% di 2025. Sementara tenaga manusia menurun dari 67% pada tahun 2020 menjadi 53% pada 2025.  Future of Job Report 2025 memprediksi bahwa keterampilan pekerjaan yang dibutuhkan hingga tahun 2030 dengan memertimbangkan perubahan teknologi, fragmentasi geoekonomi, ketidakpastian ekonomi, pergeseran demografi, dan transisi hijau yang secara individu dan gabungan akan merombak struktur dan lanskap industri dan pasar tenaga kerja global lima tahun ke depan. 

Laporan itu juga memprediksi munculnya lapangan pekerjaan baru dan hilangnya pekerjaan lama. Yang mengkhawatirkan bahwa duaperlima (39%) keahlian yang mereka miliki akan berubah atau menjadi ketinggalan zaman selama periode 2025-2030. Jadi akan ada gab yang besar  antara keterampilan yang tersedia dan yang dibutuhkan. Menurut Prof Badri Munir (2025) hampir 40% kompetensi yang dibutuhkan di tempat kerja akan berubah. Agar bisa survice dan berkembang, Prof Badri Munir (2025) menyebut perlunya kolaborasi yang kuat dalam menghadapi situasi kompleks ini. 

Hasil studi itu juga menemukan bahwa pemikiran kreatif tetap menjadi keterampilan inti yang paling dicari, dengan tujuh dari 10 perusahaan menganggapnya penting pada tahun 2025. Diikuti oleh ketahanan, fleksibilitas dan ketangkasan, bersama dengan kepemimpinan dan pengaruh sosial.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news