GAI Melengkapi Inovasi Tiada Henti

Foto dok
Foto dok

SEJARAH kelahiran 'Generative Artificial Intelligence' (GAI) tak bisa dilepaskan dari keinginan mencipta. Kehendak berkreasi, kebutuhan berinovasi. Tak sekadar berekspresi, tak semata mimikri atau meniru apa yang sudah ada. Melainkan mengubah apa yang sudah ada menjadi sesuatu yang baru. Meski karya cipta baru itu berasal dari data lama, tapi produk GAI tersebut memperlihatkan kebaruan. Contohnya, rangkaian teks perintah diubah oleh perangkat AI menjadi gambar eksotik, bahkan menjadi musik. Inilah era GAI.

Melihat kelahiran GAI ini mengingatkan saya pada ungkapan sejarawan cum intelektual Romawi kuno, Marcus Tullius Cicero. Dalam surat kepada sohib karibnya, Varro, tertanggal 46 Sebelum Masehi, Marcus menulis ''Jika kau punya taman dan perpustakaan, maka kau punya segalanya''. Untuk saat ini, ungkapan Marcus itu bolehlah digeser sedikit begini, ''Jika kau menguasai komputasi dan GAI, maka kau bisa berbuat apa saja''. Tentu saja, berbuat yang positif dan konstruktif untuk kemanusiaan. Nah, GAI ini meski agak rumit tapi menantang.  

Gampangnya, GAI merupakan bagian dari teknologi Artificial Intelligence yang berkonsentrasi pada pembuatan konten baru melalui data yang sudah ada. Diawali pada November 2022, tatkala sebuah perusahaan startup asal negeri Abang Sam (AS), OpenAI, merilis ChatGPT. Sejak saat itu, para penyuka teknologi baru gencar memperbincangkan produk tersebut. Walau semula para penentang maupun kritikus menyebut ChatGPT cuma mainan biasa. Sinisme ini bak mengulangi tanggapan mereka terhadap teknologi Voice of Internet Protocol (VoIP) pada tahun-tahun sebelumnya, yang kenyataannya kemudian justru banyak perusahaan telekomunikasi mengadopsi teknologi tersebut.

Penulis buku ini, Nir Kshetri, mahaguru ilmu manajemen di Universitas North Carolina, merujuk pada hasil survei mutakhir di beberapa negara usai GAI dirilis, yang memperlihatkan bahwa lebih dari 50 persen para pengusaha andal mendorong pekerjanya memakai GAI. Alasannya, pemakaian GAI bisa menguntungkan secara bisnis. Bahkan, konsumen pemakai ChatGPT saja sudah mampu melampaui pengguna media sosial, seperti Facebook, dalam waktu singkat. ChatGPT dianggap mampu memenuhi dahaga konsumen akan jawaban interaktif terseleksi. Tidak seperti media sosial yang pasif dan hanya mengekspose apa yang diekspresikan pemakainya.

Hanya berselang beberapa bulan sejak dirilis, perusahaan-perusahaan raksasa yang bertumpu pada cloud-computing kaliber Amazon, Microsoft dan Alphabet, juga memakai teknologi yang memanfaatkan machine learning ini untuk menghasilkan beragam AI tools. Kecepatan perusahaan mengadopsi GAI ini juga tak lepas dari perkembangan pesat dalam ilmu sains data saat ini yang berpegang pada cara memahami pola serta struktur dalam data sekaligus cara mengembangkan data tersebut.

Namun demikian, siapapun perlu terlebih dulu memahami istilah-istilah kunci dalam GAI. Pertama, algoritma. Istilah ini sudah akrab pada sebagian besar penyuka teknologi maju. Algoritma merupakan proses sistematis dengan serangkaian aturan serta instruksi dalam komputasi. Kedua, Artificial Intelligence atau juga sohor disebut ''Kecerdasan Buatan''. Kecerdasan ini merujuk pada simulasi mesin terhadap kecerdasan manusia untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan yang membutuhkan daya pikir serta logika. Meski istilah ''Kecerdasan Buatan'' ini dikenalkan oleh John McCarthy pada 1956, namun pemakaian istilah ini melejit pada kurun belakangan berkat hasil riset-riset di bidang komputasi.

Ketiga, Machine Learning (ML), yakni tipe AI yang berpusat pada algoritma untuk mempelajari data serta meningkatkan kinerja data terkait. ML memakai metode komputasional. Keempat, Deep Learning, bagian terdalam dari ML yang memakai jaringan neural buatan meniru struktur otak manusia. Deep Learning mengajari komputer memakai algoritma melalui contoh dan penugasan untuk mengklasifikasi data terstruktur dan tak terstruktur, seperti bunyi, gambar atau teks. Kelima, Base Model. Ini, tulis Nir Kshetri, merupakan model ML yang lebih luas yang diujikan pada data tak terstruktur dari internet. Ibaratnya, kita belajar menyetir mobil. Usai mahir menyetir mobil, maka otomatis kita bisa juga menyetir bis atau truk.

Selain istilah-istilah teknis di atas, Nir Kshetri juga menjabar istilah lain yang penting, seperti Generative, Multimodal GAI System, Large Language Models (LLM), Prompt, dan sebagainya. Seluruh istilah tersebut tentu saja sangat baru bagi mereka yang tergolong ''Newbies'' di jagat AI. Namun, menariknya, Nir Kshetri mengurai istilah-istilah teknis itu dengan gaya bahasa yang mudah dipahami bagi awam.

Termasuk 12 bahasannya dalam lima bagian buku ini. Seluruhnya mudah dicerna, gampang dipahami. Misalnya, dampak GAI saat ini tertuju pada tiga industri. Yakni, industri akademis, jasa keuangan dan e-commerce. Kehadiran ChatGPT misalnya, berdampak langsung terhadap peserta didik dan pendidik. Bagi peserta didik, ChatGPT sangat menarik karena menyediakan poin-poin jawaban dari pertanyaan tugas kampus, bahkan ChatGPT bisa meringkas langsung sehingga peserta didik tak perlu repot-repot ke perpustakaan atau membeli literatur. Situasi ini tentu menjadi tantangan bagi pendidik.

Namun demikian, jawaban dari ChatGPT belum tentu memantik pemikiran kritis atau pemecahan masalah yang harus diperlihatkan oleh peserta didik. Barangkali disitulah salah-satu kelemahan pemakaian GAI seperti ChatGPT itu. Buku ini setidaknya memberi gambaran luas serta mendalam tentang kelahiran kecerdasan buatan generatif yang akan terus berevolusi secara cepat. Tentu saja, kecepatan evolusi itu juga berdampak pada kemampuan inovatif umat manusia.  Kendali tetap di tangan manusia, GAI sekadar sarana.

Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news