Gawat, Data Pribadi Ternyata Gampang Dicuri

Foto dok
Foto dok

SEJARAH penjajahan di Indonesia berkait erat dengan perampasan tanah. Mata penguasa kolonial selalu jelalatan selalu ngiler melihat tanah rakyat untuk dirampas. Maka, berlangsunglah perampasan tanah dan warga pemilik tak berdaya. Apalagi pribumi antek kolonial ikut andil memuluskan praktek-praktek kolonial itu. Sejarah penjajahan adalah juga sejarah perampasan tanah untuk kepentingan penjajah. Perampasan tanah terjadi dimana-mana. Untuk memudahkan urusan merampas tanah ini, kolonialis memakai teknologi baru. Disebut baru karena teknologi seperti senjata api dan alat komunikasi belum pernah ada di kawasan yang hendak dijarah itu.

Tanah aset penting. Begitupula dengan data pribadi saat ini. Juga sama pentingnya. Pengambilan data melalui berbagai platform media sosial (medsos) pun mirip dengan perampasan tanah di masa kolonial. Bedanya, pengambilan data pribadi pengguna medsos terjadi karena kecerobohan pengguna serta kelicikan mereka yang memanfaatkan platform medsos untuk kepentingan tertentu. Meski demikian, kedua penulis buku ini berpandangan bahwa modus pengambilan data pengguna medsos ini punya karakteristik kolonial.

Dua kekuatan besar pengumpul data berada di balik modus tersebut. Keduanya adalah AS dan China. Dua negara produsen medsos ini bahkan memanfaat jaringan kabel komunikasi bawah laut guna melanggengkan karakteristik kolonial, yakni perampasan dan ketidakadilan (hlm.4). Karakteristik kolonial lainnya adalah eksplorasi, ekspansi, eksploitasi dan memusnahkan. Pada masa kolonial, para penguasa tak harus mereka yang secara politis berada di puncak atau mereka yang berada di pusat pemerintahan. Sebab, para para pebisnis murni berjiwa kapitalis pun sanggup menjadi penguasa bayangan.

Mereka terus mendorong perampasan, eksplorasi, eksploitasi tanah jajahan, jika tanah sudah tak berguna, segera dimusnahkan melalui berbagai cara. Biasa disebut model empat X, yakni ''Explore, Expand, Exploit, Exterminate''. Modus ini berulang dalam perampasan data pengguna medsos. Para pemilik perusahaan teknologi penyedia platform medsos punya kedekatan khusus pada penguasa, mirip komunitas pedagang di masa kolonial. Para penguasa memberi perhatian istimewa pada komunitas pedagang itu sebab hasil perdagangan mereka memberi sumbangan signifikan untuk kesejahteraan kerajaan. Seperti Kerajaan Inggris yang mempunyai British South Africa Company dan East India  Company, lalu Kerajaan Belanda punya VOC.

Jika diperhatikan, situasinya juga sama saat ini. Ada kedekatan khusus antara pemilik perusahaan teknologi penyedia medsos seperti Facebook, X (Twitter) atau WeChat, kepada penguasa negara mereka. Masih lekat dalam ingatan, betapa kuat hubungan antara pemilik platform X (Twitter), Elon Musk, pada Donald Trump, presiden AS terpilih. Situasi serupa terjadi pada hubungan WeChat dan rezim Beijing. Melalui WeChat ini, rezim itu bisa melalukan pengawasan terhadap penggunanya.

Kedua penulis buku ini menyatakan, bahwa dalam operasinya, mereka mengikuti modus Empat-X secara cermat. Awalnya, para pemilik platform medsos menjelajahi dunia dengan meluncurkan misi untuk 'menemukan' relasi dan tempat baru yang dapat mereka kendalikan melalui cara-cara memikat lalu mengikat. Lalu, pemilik platform ini memperluas wilayah kekuasaan mereka dengan mendirikan semacam koloni-koloni di mana tenaga kerja dan sumber daya penduduk asli dapat diambil alih dengan berbagai predikat beken. Lantas, mereka mengeksploitasi koloni-koloni tersebut dengan mendirikan sistem perdagangan digital di mana sumber daya lokal dapat diubah menjadi kekayaan, yang selalu menguntungkan pemilik platform. Dan mereka membasmi setiap pertentangan dari pihak yang dijajah, prakarsa lokal untuk berkembang secara mandiri tak ada lagi.

Kekuatan besar kini berada di tangan para pemilik teknologi jumbo. Mereka mengembangkan berbagai aplikasi komunikasi yang cepat memikat siapapun. Memberi ruang kebebasan berekspresi kepada pengguna. Buku yang berisi enam bab ditambah pendahuluan dan kesimpulan ini mengurai peta masalah dari kehadiran aplikasi-aplikasi semacam itu. Namun, kedua penulis juga memberi semacam panduakn bagaimana cara melawan. Diantaranya, bersikap kritis dan korektif, tidak terjebak ke dalam rayuan fitur platform medsos.

Ala kulli hal, kritisisme pengguna memang sulit terbangkitkan jika rasa suka pada medsos sudah mendalam. Tapi, kritisisme tetap bisa dipantik ketika diantaranya disodorkan fakta betapa mudah data pribadi dicuri pihak lain akibat pengguna medsos keranjingan posting gaya hidup.

Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news