- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
TRUMP bikin geger. Sejak ia terpilih kembali sebagai presiden AS, ulah Trump sudah bikin heboh sejagat. Yang terbaru, dia bikin tarif tinggi untuk produk negara lain jika ingin dipasarkan di AS. Trump tak peduli, semua negara dikenakan tarif lebih tinggi dari biasanya. Kontan saja, ulah Trump ini menyulut ''perang dagang''. Ada negara yang masih menunggu, ada yang mulai melobi, tapi ada juga negara yang spontan membalasnya, contohnya China. Barang apapun dari AS dikenakan tarif setinggi mungkin jika hendak dipasarkan di China.
Sebelumnya, Trump juga sudah bikin geger melalui pembatasan orang masuk ke AS. Terutama warganegara dari negara yang dianggap ancaman bagi AS, terutama ancaman kepentingan AS. Trump membuat warganegara lain tak nyaman. Biasanya, warganegara lain selalu memandang AS negeri impian, tapi di masa Trump, mengunjungi AS untuk kerja atau kuliah, bisa jadi hanya mimpi. Trump benar-benar mengubah AS, dari negeri impian menjadi negeri mimpi buruk dunia.
Buku ini karya filsuf Kanada, Brian Massumi. Secara brilyan, Massumi memakai kerangka Deleuzian untuk memotret Trump guna melahirkan sebuah teori baru fasisme justru di saat warga seluruh dunia menghendaki kehidupan anti-fasis. Kepribadian fasis seorang pemimpin negara bisa dilihat dari gestur politiknya. Sejarah politik dunia menunjukkan itu. Ketika Donald Trump menyatakan dirinya adalah ''Yang Terpilih'' dalam pidatonya, spontan Trump hendak menegaskan pada warga seluruh dunia. Bahwa dirinya punya aura yang dijunjung tinggi oleh basis pendukungnya dengan klaim keistimewaan pribadi.
Trump piawai mengelola emosi pendukungnya. Ia suatu ketika mengatakan “Saya adalah pembalasan dendam Anda!”. Pembalasan terhadap negara manapun yang telah membuat AS tak lagi dihormati. Lalu, tim kampanye Trump merumuskan dalam frasa ''Make America Great Again'' (MAGA). Trump telah mempersonifikasikan reaksi untuk massa. Sepanjang masa kekuasaan Trump sebelumnya, penyebutan kata “fasis” selalu disambut dengan tatapan sinis dan peringatan untuk menghindari saling menjelek-jelekkan, bahkan jika diucapkan dengan aksen interogatif atau diawali dengan kata “proto-” atau “semi-”. Bagi pendukungnya, Trump bukan fasis, tapi patriot.
Trump digambarkan sebagai sosok patriot untuk menyelamatkan AS. Bagi pendukungnya, tak perlu diperdebatkan. Mereka memperingatkan siapapun di AS agar tak menuding Trump sebagai fasis. Ketika masa kepresidenan Trump mencapai puncaknya pada 6 Januari 2021, dengan penyerbuan Gedung Capitol AS oleh barisan terdepan pendukungnya yang paling bersemangat, kejadian itu menjadi sangat jelas bahwa peringatan tersebut tak main-main.
Ratusan orang tersebut menyebut diri mereka sebagai “patriot”. Mereka telah menyerang titik tumpu demokrasi perwakilan — transisi kekuasaan secara damai — dan telah melakukannya bukan karena mematuhi ideologi yang dianut, melainkan karena kesetiaan kepada pribadi Trump. Itulah wujud personalitas kekuasaan pada abad 21. Kesetiaan bukan pada ideologi atau tujuan bersama, melainkan pada figur penguasa. Tak peduli apapun tabiat atau ulah penguasa itu kepada negerinya.
Sementara itu, lingkungan media sosial telah tersegmentasi mikro saat ini, “massa” tidak lagi ada. Para loyalis Trump ikut larut dalam hiruk-pikuk medsos. Kondisi budaya fasisme telah bergeser. Dalam buku ini, Brian Massumi berteori ulang tentang kondisi fasisme kontemporer melalui prisma persona Trump. Teori lama yang didasarkan pada identifikasi massa dengan pemimpin yang karismatik tidak lagi berlaku.
Sebaliknya, reaksi afektif pada rezim mampu mengagitasi para pendukung dan mengarahkan kehidupan mereka pada tingkat molekuler. Massumi meneliti agitasi ini dalam kaitannya dengan ras, gender, kepribadian, dan pemikiran konspirasi. Buku ini adalah risalah politik tentang fasisme dan gerakan-gerakan pendahulunya, yang dipadukan dengan penyelidikan filosofis bagaimana para reaksioner berkumpul merasakan proses kolektif.
Massumi mempertanyakan konsep pribadi itu sendiri, menanyakan apa arti kepribadian kolektif secara konkret. Secara pribadi, Trump sudah lama dikenal di negerinya. Semua orang tahu, ia pengusaha, tapi ketika ia terjun ke dunia politik, situasi menjadi lain. Pendukungnya tak melihat Trump sebagai pengusaha, tapi melihat Trump sebagai penyelamat mereka.
Empat tahun serangan gencar terhadap Trump di media sosial (2017-2021) justru telah mensolidkan sekumpulan penganut paham supremasi kulit putih, penganut teori konspirasi antipemerintah, dan kaum konservatif sayap kanan. Mereka bersatu untuk merespon keluhan kaum kulit putih (sebagai reaksi terhadap makin beragamnya etnis di masyarakat Amerika dan menguatnya suara orang Afrika-Amerika oleh gerakan Black Lives Matter).
Kelompok ''Proud Boys'' yang berkarakter "chauvinisme Barat" terbentuk pada September 2016, bertujuan mendukung penuh pencalonan Trump. Meski dalam berbagai kesempatan, para aktivis kelompok ini menyangkal sebagai organisasi ''White Supremacist''. Namun, beragam fakta menunjukkan keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan organisasi supremasi kulit putih. Mereka di belakang Trump.
Bagi banyak orang fanatik, Donald Trump adalah sosok penyelamat. Dukungan bagi Trump juga datang dari kelompok evangelis. Spanduk mereka bertuliskan "Dia akan melindungi kita" menghiasi banyak demonstrasi. "Kami melakukan ini untuknya," teriak massa fanatik ini.
Akhirul kalam, Trump memang banjir dukungan kelompok supremasi kulit putih. Fakta itu tak terbantahkan. Akibat kebanjiran itu, ia jadi mabuk kepayang. Hasilnya, keluarlah berbagai kebijakan kontroversial, seperti dalam soal tarif itu.
Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas