Gerhana Matahari di NKRI

Adhie M Massardi/Ist
Adhie M Massardi/Ist

Gerhana Matahari di langit politik NKRI. Ini bukan peristiwa astronomi. Ini fenomena perebutan kekuasaan. Kekuatan jahat Batara Kala yang rakus dan ambisius nyaplok matahari. Langit gelap. Penduduk bumi gelisah. 

ADA MATAHARI kembar di panggung politik nasional. Isu ini mengacu pada Prabowo Subianto, Presiden RI yang dipilih rakyat pada Pilpres 2024 sebagai matahari baru NKRI dan Joko Widodo, yang digantikannya tapi terus bertingkah layaknya presiden. Ingin tetap jadi matahari.

Lihat saja, rumahnya di Solo disulap jadi panggung politik. Masyarakat dimobilisasi (?) dan didatangkan (atau berdatangan?) ke rumahnya sekedar untuk muja-muji lalu bersalaman. Pulangnya nenteng bingkisan.

Sejumlah Kepala Daerah yang kemenangannya dalam pilkada lalu konon atas dukungan Joko Widodo, juga petinggi TNI dan Polri yang dapat posisi pimpinan di daerah “atas berkat rahmatnya” saat dia jadi presiden, termasuk yang merasa harus hadir dan sungkem dan “mohon petunjuk” kepadanya.

Isu Joko Widodo tetap jadi matahari di pentas politik kekuasaan nasional kian kental ketika sejumlah menteri yang ditengarai masuk kabinet Prabowo atas rekomendasinya, merasa wajib datang silaturahmi Lebaran karena Joko Widodo itu “Bos” mereka.

Tapi paling fenomenal adalah ketika sejumlah Peserta Didik Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Serdik Sespimmen) Polri Pendidikan Reguler (Dikreg) ke-65 berbondong-bondong ke rumah Joko Widodo di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah, Kamis lalu (17 April 25). Para calon pimpinan Polri itu minta arahan sang bekas presiden. Bukan main!

Bukan Matahari Kembar

Meskipun terus bertingkah layaknya masih kuasa, manggil atau didatangi pejabat negara (pusat dan daerah) eksisting untuk dimintai arahan dan petunjuknya, tapi Joko Widodo bukanlah matahari. Sebab secara konstitusional pemegang otoritas tertinggi di NKRI adalah Prabowo, Presiden RI eksisting.

Oleh sebab itu, pemandangan ini, dua kekuasaan berada di panggung yang sama, bukan “matahari kembar” dan tidak bisa dianalisis makai konstitusi sebagai acuan. Maka gunakan ilmu politik berbasis budaya. Berpedoman pada kultur politik di zaman raja-raja. 

Apalagi kita semua tahu, selama 10 tahun berkuasa Joko Widodo telah nyeret gerak politik nasional ke masa lalu, ke zaman raja-raja. Melahirkan dinasti dan menjadikan kata-katanya, keinginannya, sebagai “sabda pandito ratu”, jadi undang-undang atau harus dilaksanakan. Ingin pindah ibukota, semua aparatur negara wajib bikin kota baru untuk dijadikan ibukota. 

Memang tak ada yang berani bantah. Karena terbayang dalam pikiran mereka di tangan Joko Widodo ada banyak “sprindik” (surat perintah penyidikan). Seperti anak panah, sprindik ini bisa dilepas kapan saja dari busurnya, dan nancap di jantung martabat para pejabat yang tidak taat.

Dimangsa Batara Kala

Politik nasional yang kita saksikan sejak Prabowo memenangi Pilpres 2024 adalah fenomena “gerhana matahari”. Tapi bukan gerhana matahari dalam pengertian keilmuan sebagai peristiwa astronomi, ketika bulan melintas di antara matahari dan bumi.

Gerhana matahari dalam konteks ini adalah peristiwa ketika “Batara Kala yang rakus kekuasaan nelan matahari (dan rembulan sekaligus)” seperti yang dipercaya masyarakat kita di zaman raja-raja.

Ketika matahari berada dalam mulut Batara Kala, langit gelap. Makhluk di muka bumi gelisah. Maka agar Batara Kala muntahkan kembali matahari dan dunia terang kembali, masyarakat bikin kegaduhan. Memukul lesung, kentongan, atau benda apa saja yang jika dipukul bunyinya nyaring, sehingga Batara Kala kehilangan fokus. 

Tampaknya persis seperti itulah “gerhana matahari yang terjadi di NKRI”. Rakyat Indonesia ingin gerhana matahari segera diakhiri. Ingin Batara Kala muntahkan kembali matahari. Maka masyarakat bikin kegaduhan di mana-mana.

Kalangan mahasiswa dan sivitas akademika lainnya nyalakan alarm #IndonesiaGelap. Kalangan civil society penjaga marwah demokrasi terus neriakan kejadian “pemerkosaan konstitusi” hingga melahirkan “anak haram”. Mereka ingin si pemerkosa dan orang-orang yang terlibat di eliminasi dari pentas kekuasaan.

Sedangkan masyarakat sipil yang konsen terhadap etika dan hukum nabuh genderang “ijazah palsu” dan “adili Jokowi”. 

Tentu saja OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) yang nobatkan Joko Widodo sebagai runner-up “Pemimpin Paling Korup di Muka Bumi Tahun 2024” banyak orang di Indonesia teriak keras. Waduh!!

Kesimpulan

Seperti masyarakat di masa lalu yang bikin kegaduhan saat gerhana matahari agar Batara Kala muntahkan matahari dan dunia kembali terang, begitulah juga kegaduhan yang terjadi hari-hari ini di negeri ini: Ingin Indonesia kembali terang. Rezim masa lalu segera berlalu.

Situasi seperti “gerhana matahari” ini bukan hanya bikin masyarakat resah, tapi hukum juga menjadi seperti divakum. Siapa yang berkuasa dan memerintah NKRI sebenarnya?

Jangan salah, pertanyaan seperti itu juga muncul di pentas politik dan ekonomi internasional. Sebab tanpa kepemimpinan yang jelas, hukum juga menjadi tidak jelas. Jika hukum tidak jelas, bagaimana pula roda bisnis bisa berputar? Bukankah jalannya perekonomian memerlukan Jalan Hukum yang pasti?

Memang, masyarakat tentu tidak ingin Joko Widodo diperlakukan seperti Batara Kala dalam kisah lama, yakni dipenggal kepalanya oleh Batara Wisnu atas izin Batara Guru.

Cukup Joko Widodo diadili untuk mempertanggungjawabkan perilaku kekuasaannya. Mulai dari soal korupsi, pelanggaran HAM, sampai penyimpangan APBN yang bikin republik ini seperti dalam suasana paceklik.

Penulis adalah Budayawan, penyair “Negeri Para Bedebah”

ikuti terus update berita rmoljatim di google news