Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, Gresik) kembali diperpanjang oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Kebijakan ini dirasakan para pelaku usaha ekonomi semakin membuat nasib mereka terpukul.
- Disaksikan Menteri ATR/BPN, Wali Kota Eri Cahyadi Serahkan Hibah Aset Pemkot pada BPN II
- Hari Pertama Kerja Tahun 2024, Pj Wali Kota Malang Ajak ASN Tingkatkan Pelayanan Masyarakat
- Wali Kota Eri Serahkan Puluhan Hewan Kurban ke RPH Surabaya untuk Warga
Di sektor pedagang kecil, dampaknya sangat berat, seperti yang dialami pengusaha air isi ulang di kawasan Lidah Wetan, Ade Irawan, yang omsetnya menurun drastis.
Sebelum PSBB, sehari ia bisa melayani isi ulang hingga 80 galon lebih. Tetapi, sejak PSBB, sehari tidak sampai 5 galon.
"Warung kopi kan tutup semua. Pelanggan saya rata rata memang warkop. Sekarang nggak ada," kata Ade.
Ade juga mempertanyakan apakah dengan PSBB ada jaminan pandemi bisa selesai.
"PSBB 14 hari. Kalau dijamin berkurang nggak masalah. Kalau perlu lockdown. Tapi ini kan tidak. Corona-nya enggak hilang, rejeki saya malahan yang hilang," kata Ade.
Jika PSBB ditambah 14 hari lagi, ia tidak tahu bagaimana lagi cara menghidupi keluarganya. Sebab, sampai hari ini ia tidak pernah mendapat bantuan sosial dari pemerintah.
"Ya mungkin karena saya punya usaha isi ulang, jadi dianggap mampu. Padahal, ini lagi seret.," jelasnya.
PSBB juga mempersulit pengusaha menengah. Ketua Paguyuban Pedagang Buah wilayah Tanjung Sari, Surabaya, M Lukman, menyebut seharusnya untuk memperpanjang PSBB harus dipikirkan ulang.
"Kalau PSBB yang pertama gagal, kenapa ada PSBB kedua. Ini sama saja dengan mengulang kegagalan," kata Lukman.
Selama masa PSBB, pedagang buah malah merugi. Sebab, barang yang keluar masuk, durasinya dibatasi dengan batas jam operasional. Padahal, lanjut Lukman, buah berpotensi busuk jika tidak cepat habis.
Lukman tidak menampik, dalam kondisi pandemi corona seperti ini, semua sektor ekonomi memang sebagian besar jatuh. Tapi, pemerintah diharapkan tidak menambah beban lagi.
"PSBB itu beban bagi kami. Kalau seandainya, PSBB itu kemarin itu sukses, kasusnya bisa berkurang, kita ikut saja. Tapi kalau gagal, kenapa diulang lagi? Kita terlanjur rugi nggak jualan maksimal. Ini sangat merugikan masyarakat kecil," lanjut Lukman.
Ketua Paguyuban Pangkalan LPG Surabaya Barat, Tulus Warsito, juga mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya, PSBB bukan solusi terbaik.
Pemerintah, kata Tulus, hanya melihat dari sisi pandemi. Tapi, tidak melihat ekonomi masyarakat kecil.
"Itu bukan solusi. Coba seandainya pemerintah merasaka bagaimana jadi masyakarat, pasti dia akan protes," kata Tulus.
Tulus menjelaskan, efek PSBB sangat berimbas pada panyalur LPG. Sejak diberlakukannya jam PSBB, tidak ada lagi warung-warung yang berani jualan di malam hari. Sementara, masyakat yang biasa membuka warung di rumahnya, juga tidak lagi buka. Alhasil, penjualan LPG juga mengalami penurunan.
"Omset menurun, kita sebagai penyalur gas untuk kebutuhan masyarakat langsung, juga tidak mendapatkan kebijakan tertentu sejak PSBB. Kita boleh jualan, tapi enggak ada yang beli. Apa untungnya?" Lanjutnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- PD Pasar Surya Kenalkan Senja Surya di Pasar Kembang
- Hadapi Cuaca Extrem, BPBD Surabaya Siagakan Personil di 11 Titik Rawan Banjir Rob
- Berbagi Ilmu, Kiai Muda Jatim Beri Material Untuk Rehabilitasi Ponpes Bantaran