Habis Dipuja, Terbitlah Kecewa

Foto dok
Foto dok

MEMUJA idola atau figur publik, itu sah-sah saja. Tak ada yang melarang, apalagi menghalangi. Puja-puji itu hak setiap orang untuk idolanya. Modus pemujaan bukan cuma dilakukan orang awam yang terpesona pada idola, melainkan orang pinter pun bisa jatuh kesengsem setengah mati pada idolanya. Dan selalu ada beragam alasan mendukung modus pemujaan itu. Contohnya, sang idola dipuja karena tampak merakyat atau sang idola dijunjung karena acap blusukan.

Dalam dunia politik puja-puji pada sosok tertentu rasanya sudah jamak. Apalagi kalau yang dipuja adalah politisi royal. Gemar berbagi sedekah, suka sebar hibah. Siapa yang memuja, dia diberi hadiah. Pujaan terlantun setinggi langit, dimanapun dan kapanpun. Bukan cuma di dunia nyata, di jagat maya pun pemujaan itu tiada henti. Tak kenal waktu, apalagi jika barisan pemengaruh (buzzers) ikut nimbrung memuja. Semua info positif bergulir di aneka platform media sosial.

Namun, apa yang terjadi begitu fakta sebenarnya terkuak? Spontan semua pujaan jadi berantakan. Para pendukung merasa keliru, tertipu citra. Terhipnotis imaji, larut dalam angan-angan palsu. Lantas, ramai-ramai mereka membuat jarak dari sang idola. Mereka mulai mempertanyakan, lalu mencaci-maki figur idola. Contohnya, saat 2012, nyaris sebagian besar warga Indonesia terpesona pada ''mobil Esemka''. Beberapa kepala daerah bahkan sudah inden membeli mobil simbol 'patriotisme' itu.

Belakangan, tak diketahui nasib lanjut mobil Esemka. Yang dulu memuja mobil itu, lalu kini ragu lantas mempertanyakannya. Puncaknya, pada Oktober 2023 ketika MK mengubah syarat pencalonan capres dan cawapres dalam UU Pemilu. Sontak sebagian pada menyesal kenapa dulu begitu memuja, lalu mereka berubah mulai mengkritisi yang dulu dipujanya.

Itulah gambaran ''cancel culture''. Budaya ''pembatalan'' atau budaya ''pengenyahan''. Yakni, fenomena sosial saat warga ramai-ramai memboikot atau mengucilkan seseorang/figur publik/tokoh idola yang telah dianggap melakukan kesalahan. Pemboikotan bukan hanya terjadi di dunia nyata, tapi juga bergulir di jagat maya, wabil khusus di ranah media sosial. Warganet ramai-ramai mengkritik, mencaci bahkan menghujat tokoh idola yang dulu didukungnya.

Buku ini mengulas kepanikan akibat budaya tersebut. Ada delapan ulasan yang diawali pendahuluan, diakhiri kesimpulan. Ditulis oleh gurubesar ilmu-ilmu kemanusiaan, Adrian Daub. Menurutnya, penyebaran global wacana budaya pembatalan (cancel culture) telah berujung kepanikan moral. Ia menunjukkan bahwa, meskipun obyeknya kabur, pembicaraan tentang budaya pembatalan di media global telah menjadi perhatian liberalisme. Ada banyak suara konservatif yang mengobarkan kekhawatiran tentang budaya pembatalan untuk mencapai agenda mereka.

Namun, mungkin ada fakta yang lebih luar biasa, bahwa media yang berhaluan tengah, bahkan condong ke kiri, telah mengambil seruan untuk bersatu dan benar-benar mendefinisikan garis besar tentang apa itu budaya pembatalan. Media di Eropa Barat, Amerika Selatan, Rusia, dan Australia telah menyoroti begitu banyak kasus, bahkan dalam beberapa kasus fenomena ini lebih banyak dibandingkan di  sebagian besar media AS.

Meski demikian, Daub menegaskan bahwa fenomena budaya pembatalan yang akrab oleh orang awam disebut boikot, sebenarnya pertama kali muncul di AS (hlm.16). Sedangkan istilah ''Cancel Culture'' sendiri lahir di internet (hlm.13). Jagat dimana siapapun bisa masuk, dikenal, lalu terkenal, lantas di-follow lalu menjadi idola. Semua warganet yang peduli pada topik atau isu berkait pada idola tersebut, pasti mengikutinya. Secara bersamaan, warganet melihat apa pikiran, pandangan serta kiprah sang idola.

Kita hidup dalam suasana ''digital panopticon''. Suasana ketika semua orang yang bisa mengakses ke internet akan bisa mengikuti seksama setiap perubahan, gerak-gerik, perilaku idola. Disebut ''panopticon'', karena warganet mengawasi semua perilaku idola. Secara sadar, figur publik bahkan memanfaatkan internet guna mencapai popularitas. Ini bukan cuma terjadi di AS, sebab di Eropa, Australia, negara-negara Asia, bahkan Afrika dan Amerika Latin pun mengalami gejala serupa.

Apa yang terjadi saat fakta sebenarnya terungkap? Yang terjadi adalah kepanikan. Kepercayaan yang terlanjur diberikan kepada tokoh atau figur publik sebelumnya sudah terlalu dalam. Sering pembelaan kepada sang idola benar-benar di luar nalar. Begitu fakta tersingkap, kepercayaan tergerus. Sebagian pengikut merasa seperti telah digendam. Mereka bak baru bangun di siang bolong. Sadar lalu menyesal.

Akhirulkalam, fenomena budaya pembatalan ini akan terus terjadi jika masyarakat sendiri tak mengembangkan nalar kritis. Tentu saja, diperlukan niat dan konsistensi dalam pengembangan nalar kritis. Utamanya, sedari awal siap menerima apapun sisi gelap sang idola, tokoh publik atau komunitas tertentu.

Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news