RMOLBanten. Pihak Instagram secara mengejutkan menghapus foto pertemuan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais dengan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Mekah.
- Tim Ganjar-Mahfud MD Ingatkan Aparat Negara untuk Netral di Pemilu 2024
- Nasib Khalid Payenda, Dari Menteri Keuangan Afghanistan Kini Jadi Sopir Uber di Washington DC
- Ketua Fraksi Demokrat Apresiasi Pengoperasian Tol Probowangi untuk Mudik Lebaran 2025, Beri Pesan Ini Kepada Pemudik
Menanggapi hal itu, peneliti dari Direktur Eksekutif Local Governance Strategic Studies (LOGOSS) Gde Siriana menilai bahwa tindakan Instagram telah mencederai demokrasi. Menurutnya, penghapusan itu memberikan fakta bahwa Instagram telah menjelma menjadi simpatisan kekuasaan.
Jika berita itu benar, maka ini mencederai demokrasi. Seperti halnya kasus Facebook dalam pemilu AS, maka IG (Instagram) sudah menjadi simpatisan bagi kelompok kekuasaan yang menjadi lawan politik seperti Prabowo Subianti, Rizieq Shihab, dan Amien Rais,†ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (5/6).
Menurutnya, hal ini juga membuka tabir bahwa kelompok pemodal dan media massa besar selalu berupaya mengatur demokrasi Indonesia, yang tentunya bekerja melalui akses-akses kekuasaan.
Proyek pluralisme, developmentalisme, dan civil society selalu diproduksi oleh jaringan kelompok yang memiliki akses kekuasaan dan para pemilik modal dan media massa.
Merekalah yang menentukan wacana dan teks,†terang Gde.
Wacana, sambungnya, bekerja dalam wilayah ketidaksadaran masyarakat, yang diproduksi untuk menjadi paradigma masyarakat. Sementara teks bekerja secara efisien untuk menyebarkan wacana.
Teks mengemas realitas yang seringkali lepas dari konteksnya dan secara dahsyat memberikan proposisi terhadap kelompok yang mana yang berkepentingan,†sambungnya.
Gde menjelaskan bahwa pengetahuan selalu diproduksi oleh kekuasaan dan setiap kekuasan selalu menghasilkan kebenaran sendiri. Dengan demikian, kekuasaan cenderung melahirkan rezim kebenaran tertentu melalui wacana dan institusi kekuasaan.
Masyarakat tidak lagi dikontrol lewat kekuasaan yang bersifat fisik atau kekerasan tetapi akan selalu dikontrol, diatur dan disiplinkan lewat wacana,†lanjutnya.
Kekuasaan akan menghasilkan wacana dominan yang membentuk dan mengarahkan bagaimana suatu obyek harus dibaca dan difahami. Masyarakat tidak lagi memiliki kesempatan untuk berfikir tentang wacana yang lain, tetapi dipaksa mengkonsumsi wacana dominan.
Dengan demikian, wacana yang lainya misalnya mengenai ketidakadilan ekonomi dan penguasaan segelintir orang atas ekonomi nasional yang dianggap mengganggu status quo menjadi terpinggirkan,†jabarnya.
Wacana dominan menjadi legitimasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam kekuasaan untuk mengukuhkan eksistensinya. Misalnya, wacana pluralisme atau kebhinnekaan, akan menjadi paradigma di mana tujuannya adalah siapa yang mengklaim paling pluralis pasti akan berkuasa.
Juga dalam hal wacana ekonomi infrastruktur, tujuannya adalah siapa yang paling getol membangun infrastruktur itu lah pemerintahan yang berhasil,†tukasnya.
Wacana lain tentang beban utang, ketimpangan kesejahteraan dan penguasaan asing atas ekonomi nasional tidak diberikan ruang dalam kognitif masyarakat, meski itu sangat fundamental dan sisi buruk dalam realitas sesungguhnya,†tutup Gde. [dzk]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- MUI dan Maruf Amin Tidak Pernah Dilibatkan Dalam Pembahasan Perpres Miras
- Manuver Jokowi Berpotensi Menimbulkan Keretakan Antar Parpol
- Ganjar Pranowo Masih Punya Harapan Maju Pilpres