Ironi Politik Tekno-moral Negeri Hindustan

Foto dok
Foto dok

Ironi Politik Tekno-moral Negeri Hindustan

SEJAK memasuki abad 21, istilah Good Governance (GG) telah lazim dikenal di kalangan teknokrat. Itu bukan sekadar istilah, sebab ada keinginan yang terkandung di dalamnya untuk menciptakan tata kelola pemerintahan partisipatif, transparan dan akuntabel. Artinya, tata kelola pemerintahan yang baik seharusnya mendorong keikut-sertaan warganegara, partisipasi publik dan transparansi penyelenggara pemerintahan sehingga akuntabilitasnya ke publik juga meningkat.

Selama tahun-tahun awal pada 2000-an, banyak negara saling berlomba mempraktekkan tata kelola yang baik. Teknokrat merancang regulasi untuk proses penataan aparatur yang baik dan akuntabel. Tidak sekadar memenuhi kewajiban untuk melayani warganegara, melainkan juga harus bisa meningkatkan akuntabilitas publik dalam pelayanan itu. India merupakan salah-satu negara yang selama bertahun-tahun berusaha mengembangkan regulasi yang transparan berdampak meningkatkan akuntabilitas publik.

Buku ini ditulis gurubesar antropologi budaya dan sosial yang mengajar di Universitas Wesleyan, AS. Ia menawarkan perenungan etnografis tentang politik tata kelola pemerintahan yang baik di India saat ini. Ditegaskan, bahwa tata kelola yang berlangsung di India adalah kumpulan tekno-lokal. Yakni, campuran yang kompleks dan berubah-ubah dari bahasa sehari-hari etika yang bermuatan tentang "kebaikan" dan keahlian teknis tentang hukum dan kebijakan, di satu sisi, dan keharusan lokal dan standar global tata kelola rasa neoliberal, di sisi lain.

Untuk menjelaskan kompleksitas tersebut, penulis mengurai liku-liku sekelompok aktivis yang dipimpin oleh Arvind Kejriwal dari tahun 2008 hingga 2014. Aksi mereka berubah dari LSM pro-transparansi kecil menjadi gerakan massa melawan korupsi lalu menjelma sebagai partai populis yang berjanji untuk mengubah sistem politik melalui hukum dan reformasi dan berkuasa di New Delhi. Politik tata kelola pemerintahan yang baik yang berubah-ubah dan kaleidoskopik ini, sekaligus menyasar lembaga yudisial dan bersifat populis, ternyata penuh dengan paradoks dan risiko.

Melalui analisa yang tajam, terungkap apa yang diperlihatkan kelompok yang telah berubah itu. Tentang kenegaraan dan birokrasi, kewarganegaraan dan hak, kehidupan sosial hukum dan aktivisme liberal, serta otoritarianisme populis dalam konteks demokrasi.

Menata birokrasi memang tidak mudah, apalagi jika semangat awal untuk menata berasal dari spirit LSM. Saat berada di luar pemerintahan, spirit LSM bisa bebas, begitu masuk ke dalam internal birokrasi India, belum tentu spirit itu bisa berjalan sesuai keinginan awal menata birokrasi agar bersih dari korupsi, partisipatif serta transparan.

Pada 5 Juni 2010, kepala pemerintahan negara bagian Gujarat, India, Narendra Modi, berpidato tentang pentingnya Suraj di Mumbai. Suraj sinonim dari Good Governance dalam bahasa lokal. Modi yang berasal dari Partai Bharatiya Janata menganggap dirinya sebagai pakar tata kelola pemerintahan. Ia mendesak sesama politisi dan birokrat di Gujarat agar mempraktekkan tata kelola pemerintahan yang baik. Bagi Modi, tata kelola ini bukan kemauan dunia internasional, melainkan seperti seruan Krisna kepada Arjuna dalam Bhagawat Gita, epos Mahabarata.

Modi memakai mitologi Hindu untuk menegaskan bahwa Suraj punya pijakan suci bagi India. Meski Modi sesungguhnya juga mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan itu dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan ia juga merujuk pada karya-karya literatur lain. Baginya, pemerintahan yang baik harus kompetitif, bak berorientasi pada konsumen, terdesentralisasi, berorientasi pada pasar, harus diperkuat daripada sekadar melayani. Suraj ala Modi ini hasil dari adonan mitologi India dengan prinsip neoliberal yang sebenarnya bertujuan mempromosikan agenda kelompok nasionalis ekstrem.  

Tak lama usai Modi berpidato di Mumbai itu, muncul sosok aktivis LSM yang kemudian menjadi birokrat. Dialah Arvind Kejriwal, yang kini menjabat sebagai kepala pemerintahan Delhi. Kejriwal awalnya mengelola LSM Parivartan. LSM ini fokus mendorong keterbukaan informasi dan hak warganegara India untuk memperoleh informasi sahih. Semangat anti-korupsi Kejriwal membawanya ke ranah politik lalu ia pun menjadi politisi dengan semangat membersihkan pemerintahan dari korupsi.

Semangat Kejriwal kian membara usai tewasnya Amit Jethwa, seorang aktivis pro-transparansi dan anti-korupsi di Gujarat pada 20 Juli 2010. Pembunuhan secara brutal terhadap Jethwa serta tujuh aktivis pro-transparansi India menandakan ironi dalam pemerintahan India. Sebab, tragedi itu terjadi justru sebulan usai pidato Modi yang bersemangat hendak mempraktekkan Suraj. Ketika protes terhadap pembunuhan aktivis itu merebak di New Delhi tahun 2010, penulis buku ini ikut bersama para aktivis tersebut sebagai sukarelawan.

Walau Undang-Undang Keterbukaan Informasi India telah disahkan pada 2005, namun penerapan undang-undang itu ternyata telah menelan banyak korban jiwa. Bahkan di tengah semangat untuk mempraktekkan tata kelola pemerintahan yang baik pun, ternyata undang-undang yang sejatinya bisa mendorong reformasi tata kelola pemerintahan, faktanya justru berbeda. Aparat dan organisasi pendukungnya lebih menginginkan semua praktek pemerintahan dijalankan secara tertutup. Publik tak perlu tahu.

Suasana itu segera menyadarkan Kejriwal, bahwa dibutuhkan penerapan Swaraj. Yakni, konsep Gandhi untuk dekolonisasi India, pemerintahan sendiri dengan etik Hindustan untuk pemerintahan yang baik. Ketertutupan informasi pemerintahan India telah menyebabkan kesulitan luar biasa publik untuk meminta pertanggungjawaban aparat dan birokrat atas pemakaian dana publik. Ketertutupan ini tentu bertentangan dengan semangat partisipasi publik dalam mengawal berbagai program-program publik yang diharapkan bisa terlaksana secara akuntabel.

Kejriwal bersama rekan-rekannya kemudian membentuk Partai Aam Aadmi (Partai Orang Kebanyakan) pada 2 Oktober 2012. Fokus utama partai ini melawan korupsi serta mengkampanyekan transparansi di India. Setelah Pemilu 2022, Partai Aam Aadmi menang telak di Punjab dan Delhi. Namun, patut disayangkan, baik Modi maupun Kejriwal masih mengekspresikan politik Hindutva. Sebuah praktek politik proto-fasis yang mendasarkan diri pada mitologi-mitologi Hindu masa lalu untuk membangun populisme India saat ini.

Modi menyodorkan konsep Suraj, yakni meminimalisir peran pemerintah, memaksimalisasi peran swasta atau publik. Sedangkan Kejriwal memakai konsep //swaraj//. Keduanya punya niat ingin membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Masalahnya, Modi saat ini justru memberi ruang begitu besar pada dua konglomerasi India, yakni Adani dan Ambani. Modi juga punya watak xenofobia (alergi terhadap segala yang dianggap asing). Sedangkan Kejriwal berusaha mencitrakan diri sebagai figur lebih liberal-demokrat dibanding Modi.

Akhirulkalam, itulah gambaran teknomoralitas politik populis di India. Para teknokrat berlomba-lomba mempertontonkan moralitas ke publik demi menegaskan kepada publik, bahwa mereka menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik. Meski jika ditelisik lebih dalam, ternyata teknomoralitas berbalut mitologi itu hanyalah kedok politisi populis untuk menaikkan citra. Sedangkan ujung dari praktek populisme India ternyata kekerasan dan konflik.

Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news