Dijadikannya Istana Negara sebagai tempat konsolidasi ketua Umum Partai politik pendukung koalisi, mengesankan Presiden Joko Widodo telah melakukan desakralisasi.
- Ingin Ada Kodam di Setiap Provinsi, Jenderal Dudung: Biar Sama dengan Polri
- Begini Pesan JK ke Surya Paloh Soal Mencari Pemimpin Bangsa
- Pengurus Baru Dikukuhkan, Pramuka Jatim Siap Hadapi Tantangan Masa Depan
Pengamat politik Universitas Nasional Andi Yusran berpendapat, Istana negara adalah simbol sebuah negara. Artinya, jika ia negara kerajaan, maka istana adalah tempat bertahtanya raja. Sedangkan pada negara republik, istana adalah tempat bermukimnya Presiden sebagai kepala negara.
Dengan demikian, kata Andi, istana adalah tempat bagi kepala negara menjamu tamu kehormatan negara luar, tempat kepala negara menerima rakyatnya. Bagi Andi, Istana adalah entitas sakral yang bebas kepentingan politik.
"Ketika istana dipakai untuk kepentingan politik praktis dari kelompok tertentu maka ketika itulah istana kehilangan ruhnya sebagai rumah 'raja' yang sakral dan bebas nilai," demikian pendapat Andi melansir Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (5/5).
Menurut Doktor Ilmu Politik Universitas Padjajaran ini, konsolidasi politik yang menghadirkan parpol pendukung pemerintah di Istana negara beberapa hari yang lalu adalah tindakan yang keliru. Bukan hanya itu, Jokowi bisa dikategorikan melanggar fatsoen politik pemerintahan.
"Adalah lebih elegan sekiranya konsolidasi itu dilakukan di rumah pribadi Presiden atau di cafe cafe politik," pungkasnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- May Day, 100 Ribu Buruh Bakal Beraksi di Kawasan Istana Negara
- Perempuan yang Terobos Istana Merdeka Bawa Senpi Resmi Ditetapkan Tersangka
- Din Syamsuddin Terkait Seorang Perempuan Bercadar Terobos Istana