- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
GENERATIVE-AI pertama kali adalah ChatGPT yang dirilis pada 30 November 2022 di AS. Dengan cepat, piranti yang dikembangkan oleh perusahaan OpenAI ini segera menyedot perhatian publik. Dalam lima hari, satu juta pemakai menggunakan piranti tersebut untuk berbagai keperluan. Termasuk dunia akademis pun kesengsem pada piranti ini. Heboh dimana-mana. Bahkan pada pekan-pekan berikutnya lebih banyak lagi pemakai ChatGPT dan istilah ''generative'' mencapai 900 ribu lebih hits di Google Scholar.
Kehadiran ChatGPT merupakan lompatan besar dalam keseharian warga dunia. Pada tahun 2023, perusahaan-perusahaan lain, di luar AS, mulai menapak kemungkinan memakai piranti ''generative'' itu untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi waktu. Alasannya, piranti tersebut terbukti mampu mempelajari data lalu menyajikan data sesuai kebutuhan. Ada penghematan waktu bagi pengguna. Tak lagi harus menggali sampai menguras waktu.
Nah, sub judul buku ini tertulis the good, the bad and the ugly (si baik, si buruk, si jelek), yang mengacu pada bagaimana civitas kampus bisa memperlakukan AI. Memang, AI bermanfaat besar untuk mendongkrak naik kegiatan dunia pendidikan tinggi. Kerja-kerja akademis atau ilmiah bisa sangat terbantu dengan pemanfaatan AI. Namun, kehadiran AI juga bisa menjadikan penggunanya menjadi malas, terjebak zona nyaman atau kurang kreatif. Bahkan, pemakaian AI di kampus dikhawatirkan bisa berdampak sangat negatif, misalnya ketergantungan pada narasi produk ChatGPT.
Buku ini berisi 23 ulasan dari para pakar komunikasi, pendidikan dan strategi terapan. Fokus utama, tegas editor, adalah melihat pengaruh serta dampak AI pada pendidikan tinggi. Selain pengaruh AI pada para mahasiswa dan pengajar, juga dampak AI terhadap dunia penelitian. Kehadiran AI memang bisa mempermudah tahap penelitian serta mempercepat proses yang membutuhkan rangkuman hasil-hasil riset terdahulu. Kemahiran AI ini dimungkinkan karena pemakaian Large Language Models (LLMs). Sejarah LLMs bisa dilacak hingga ke dekade '50-an saat banyak periset memulai riset Natural Language Processing (NLP).
Pada dekade '70an, filsuf AS, Hubert Dreyfus, melancarkan kritik terhadap komputer. Saat itu piranti Generative AI belum tersedia. Namun, kritik Dreyfus bisa menjadi acuan guna melihat apa yang sesungguhnya bisa dilakukan AI dan apa yang tidak, terutama di dunia pendidikan tinggi. Usai menyelesaikan disertasi doktornya pada tahun 1964, Dreyfus bekerja di RAND corporation, lembaga tangki pemikir AS. Tugasnya, meriset isu filosofis terhadap mesin cerdas yang mampu berpikir. Temuan Dreyfus yang dilaporkan pada 1965 sangat kontroversial yang kemudian menjadi topik bahasan luas di media-media AS sejak bulan Juni 1966.
Bagi Dreyfus, mesin belum akan mampu dan belum pernah bisa menandingi manusia dalam permainan catur sampai pada beberapa tahun selanjutnya karena mesin tak punya intuisi. Permainan catur, sebagaimana kita ketahui, bukan sekadar hiburan. Permainan ini membutuhkan intuisi sekaligus mengasah intuisi dan perhitungan cermat. Semua langkah di dalam permainan catur memerlukan keduanya agar bisa menang. Daniel Dennett, sparring-partner Dreyfus selama bertahun-tahun di berbagai kampus, menegaskan kembali pendapat Dreyfus tersebut.
Dreyfus yang sepanjang karir akademisnya, terakhir ia mengajar di University of California at Berkeley dan MIT, masih sangat teguh memegang pendapatnya itu. Bahwa mesin mungkin baru bisa memenangkan permainan catur lawan manusia baru pada tahun-tahun berikutnya. Namun, fakta tahun 1967 menunjukkan sebuah program permainan catur karya mahasiswa MIT, Richard Greenblatt, justru mengalahkan Dreyfus. Program itu bernama MacHACK. Kehadiran program ini sontak menarik perhatian publik kala itu.
Agaknya, Dreyfus terburu-buru mengeluarkan pendapat tentang mesin cerdas dalam laporan RAND itu. Sebab, mesin cerdas yang dirujuknya adalah program permainan catur besutan Newell, Shaw dan Simon tahun 1958. Padahal pada dekade berikutnya, justru MIT sedang gencar mengembangkan program terkait untuk pemenuhan riset di kampus tersebut. Meski demikian, karya Dreyfus tetap menjadi acuan untuk melihat bagaimana masa depan komputer, termasuk AI.
Dreyfus memakai logika yang dikenal sebagai argument by diagnosis. Argumen ini berdasar diagnosa dua siklus. Siklus pertama, Drayfus mendiagnosa perkembangan mesin cerdas dan kaitannya pada manusia. Diagnosa Dreyfus awalnya tertuju pada mesin cerdas yang ditemuinya di saat ia meriset untuk RAND.
Siklus tersebut memperlihatkan kesuksesan serta kegagalan dalam riset terhadap komputer. Siklus kedua, tentang kecenderungan kecerdasan manusia untuk berhasil. Dan kecerdasan itu berkait pada metode pemrosesan informasi yang tak begitu saja spontan bisa dihitung.
Ala kulli hal, kisah Dreyfus menghadapi komputer di atas barangkali bisa menjadi acuan bagi penerapan AI dalam pendidikan tinggi. Bahwa kesuksesan serta kegagalan dalam penerapan itu membutuhkan pengamatan seksama dan jangan gampang menyerah. Bak pepatah bijak mengatakan ''kegagalan adalan kesuksesan yang tertunda''.
*Penulis adalah periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas