- Kota, Big Data dan Akal Imitasi
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
GARA-gara yakin tak bakal terinfeksi virus Corona karena merasa sudah kebal, seorang penyiar radio di AS lalu menyiarkan bahwa para pendengar tak perlu khawatir. Tragisnya, pada 2021, sang penyiar ini malah tewas akibat virus itu. Para pendengar radio pun geger dan agak kalut. Sampai tahun 2022, sudah lebih dari satu juta warga AS yang meninggal karena virus tersebut. Pandemi menjadi mimpi buruk. Informasi tentangnya sering dibumbui aneka cerita. Soal fiksi atau tidak, itu perkara belakangan, sebab warga kebanyakan memang suka pada kisah-kisah bombastis.
Saat Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, aksi itu diawali dari misinformasi yang diterima Vladimir Putin. Bahwa Ukraina menjadi negara basis dari Neo-Nazi. Putin menerima misinformasi itu lantas spontan menggerakkan pasukannya menyerbu Ukraina. Lalu, pada bulan Mei 2022, warga New York, Payton Gedron memberondong tetangganya. Sepuluh orang tewas seketika. Sebelum beraksi, Gedron telah mengunggah uraian teori konspirasi di internet bahwa kaum kulit hitam hendak menggusur dominasi kulit putih.
Misinformasi bukan hanya terjadi di negara-negara maju, namun di negara berkembang seperti Indonesia pun, misinformasi kerap menjadi acuan aktivis gegabah. Misal, pada peristiwa Pemilu 2014, 2019 dan 2024, misinformasi bersliweran di jagat maya. Bahkan, pada saat pandemi COVID-19, misinformasi tentang virus ini menyebar cepat lewat Whatsapp Group dan media sosial. Warga reaktif akan gampang terpancing lalu menggelar aksi.
Buku ini berisi sembilan bab tentang misinformasi. Diawali dengan ulasan apa itu misinformasi. Sebagai gurubesar filsafat di Universitas Waterloo, tentu mudah bagi Paul Thagard untuk mengulasnya dari fakta ke fakta. Tapi, secara definitif tentang apa itu misinformasi, Paul justru merujuk kepada definisi yang berasal dari laporan ahli bedah umum Vivek Murthy. Disebutkan, misinformasi adalah informasi palsu, tak akurat atau menyesatkan berdasar fakta yang ada pada saat informasi itu beredar.
Keunikan dari buku ini terletak dari cara Paul kemudian menjabarkan bagaimana misinformasi itu beredar lalu terbantahkan. Pertama, misinformasi tentang COVID-19. Pada awal wabah ini beredar, informasi sering tak bersumber dari dunia medis. Alasannya, informasi tentang wabah ini sangat terbatas karena dianggap varian baru dari SARS. Belakangan, barulah tersingkap bagaimana bentuk virus ini dan cara pencegahannya. Kedua, misinformasi tentang perubahan iklim. Ada dua aktor utama yang menolak perubahan iklim, yakni perusahaan terkait dengan bahan bakar fosil dan para politisi yang terkoneksi pada perusahaan tersebut. Menurut kedua aktor ini, perubahan iklim merupakan peristiwa alamiah, bukan karena ulah perusahaan. Ini, tentu saja, misinformasi.
Misinformasi ketiga yang menjadi perhatian Paul adalah teori konspirasi. Misinformasi ini sangat terkait pada peta politisi yang terhubung satu sama lain dengan isu yang dibuat-buat, seperti isu perilaku pedofilia seorang politisi yang punya hubungan dengan elit yang berkuasa. Warga kebanyakan yang tak segera mengecek akan mudah terprovokasi karena misinformasi ini ditulis begitu meyakinkan serta disebar di berbagai platform media sosial kredibel.
Keempat, misinformasi tentang ketidakadilan. Misinformasi ini cepat tersebar ke kelompok-kelompok masyarakat yang kerap melihat ketidakadilan perlakuan oknum pejabat pada saat-saat tertentu. Bahwa ketidakadilan itu tak berkait pada kebijakan pejabat, melainkan berhubungan dengan perilaku warga. Misinformasi ini jelas memantik frustasi berujung ricuh.
Last but not least, dari pemantauan seksama terhadap kasus-kasus korban misinformasi selama ini, ternyata selalu diakhiri tragis. Tanpa sikap kritis, rasa ingin tahu yang besar serta skeptis terhadap berbagai informasi yang diterima, akibatnya seseorang gampang menjadi korban misinformasi. Oleh karena itu, khalayak perlu terus bersikap kritis dan jangan mudah menerima informasi begitu saja. Lakukan pengecekan agar tak jadi korban.
Penulis akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Kota, Big Data dan Akal Imitasi
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda