Juristokrasi Dalam Pilkada
Roslinormansyah
JIKA tidak ada aral melintang, bangsa kita akan menggelar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada atau Pemilukada) pada November 2024. Ini momen penting sekaligus menarik, karena warga daerah memperoleh kesempatan untuk memilih langsung calon kepala daerah (cakada). Jika tidak ada perubahan dari KPU, maka Pengumuman Pendaftaran Pasangan Calon (Paslon) akan dibuka pada Agustus 2024.
Sedangkan penetapan Paslon dilakukan pada bulan September 2024. Artinya, sebulan usai pengumuman, lalu proses pendaftaran Paslon dan penelitian oleh KPU, maka Paslon bisa ditetapkan atau gugur, berdasar Putusan KPU.
Jika merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), maka ada dua jenis putusan KPU.
Pertama, Putusan KPU yang berisi hasil Pemilihan Umum. Kedua, Putusan KPU terkait tahap atau proses Pemilu. Menurut SEMA di atas, putusan terkait tahap atau proses dari KPU merupakan keputusan yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara atau Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN/beschikking).
SEMA ini memperjelas apa yang termaktub dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Bahwa, Putusan KPU selain hasil pemilihan umum bisa masuk ke dalam kategori putusan terhadap proses atau tahap Pemilu yang merupakan KTUN asalkan memenuhi kriteria kongkret, final dan individual.
Oleh karena termasuk ke dalam KTUN, maka Putusan KPU terkait penetapan paslon bisa digugat ke PTUN.
Dari fenomena ini, kita bisa melihat keterlibatan proses peradilan hukum ke dalam arena politik yang bertujuan memberi kepastian hukum agar tidak terjadi kekacauan. Walau paslon Pemilukada sebenarnya juga mempunyai kesempatan mencari kebenaran serta keadilan ke forum adjudikasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Namun, seringkali paslon Pemilukada merasa lebih mantap jika ada putusan PTUN terkait gugatan yang diajukannya terhadap putusan KPU terkait proses atau tahapan.
Sesungguhnya kita sedang menuju ke dalam situasi Juristokratis. Situasi ketika aturan-aturan hukum menjadi acuan untuk penyelesaian proses politik yang dianggap belum memenuhi rasa keadilan oleh warganegara.
Istilah juristokrasi diperkenalkan oleh Édouard Lambert, ilmuwan hukum Prancis, yang kemudian istilah tersebut dijabarkan lebih lanjut oleh Ran Hirschl dalam bukunya ''Towards Juristocracy. The Origins and Consequences of the New Constitutionalism'' (2004).
Namun demikian, situasi juristokratis juga mempunyai sisi gelap. Yakni, ketika transfer kekuasaan mandat dari rakyat yang diwakilkan kepada DPR, beralih kepada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, yang pada gilirannya, kedua mahkamah tersebut telah melahirkan putusan kontroversial belakangan ini.
Dua putusan itu merupakan ekspresi juristokratis yang justru menjadikan proses demokrasi diwarnai favoritisme. Ini berbahaya.
*Mahasiswa FH Universitas Merdeka, Pasuruan
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Kumpulkan Parpol, KPU Kota Probolinggo Evaluasi Pelaksanaan Pilkada 2024
- KPU Jombang Tetapkan Warsubi-Salman Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Pilkada 2024
- Sungguh Mengusik Rasa Keadilan Masyarakat