- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas
DUNIA pasca COVID-19 tak lagi sama seperti sebelumnya. Beragam peristiwa dan tragedi muncul silih berganti masuk ke panggung yang ditonton masyarakat dunia. Termasuk kian menguatnya negara-negara di luar Amerika Serikat (AS).
Asia menjadi gravitasi baru perhatian dunia ketika kontestasi RRC, Korea Selatan, Jepang dan India mewarnai peristiwa-peristiwa penting, seperti membanjirnya produk-produk teknologi Cina ke berbagai kawasan Asia, bahkan merangsek masuk Eropa, AS dan negara-negara lain.
Ketika Rusia menginvasi Ukraina, AS seperti kikuk menghadapi peristiwa itu. Sementara elit-elit Ukraina gencar melobi kesana-kemari meminta perhatian masyarakat dunia atas nasib negara secuil itu, AS justru sedang sibuk dengan urusan internal. Putin, Xi Jinping dan Muhammad Bin Salman (MBS) tampil bak otokrat. Mereka tahu AS tengah membereskan urusan domestik, maka mereka perlu tampil di panggung dunia sesering mungkin. Bagi Putin, itulah saat yang tepat untuk terus menggebuk Ukraina.
Namun, semua elit negara itu ternyata kalah pamor dibanding para ''Tech-Lord'' lembah Silikon dan mereka yang menguasai jejaring informasi serta perdagangan. Elon Musk, Mark Zuckenberg dan Peter Thiel, sebut penulis buku ini, mempunyai akses luar biasa ke perangkat-perangkat informasi. Akibatnya, mereka bertiwikrama menjadi sosok yang lebih berkuasa dibanding para elit negara manapun.
Munculnya media digital serta pesatnya perkembangan teknologi komunikasi tak diantisipasi dengan baik oleh para elit politik AS. Mereka kesulitan beradaptasi menghadapi konten-konten atau informasi yang berseliweran begitu cepat, berganti nyaris tanpa jeda, sering sulit dibedakan antara sahih dan hoax.
Digitalisasi produksi dan keuangan telah menghasilkan kekayaan dalam jumlah besar. Produksi itu membantu memfasilitasi perekonomian dan pertumbuhan di negara-negara berkembang.
Kemampuan militer melejit berkat aplikasi digital pada angkatan bersenjata, terutama di AS. Situasi ini akan membuat kekuatan AS tidak dapat diganggu gugat dan semakin memperkuat struktur dan institusi liberalisme. Gelontoran konten digital dan media sosial akan melahirkan ‘desa global’ dan ‘dunia datar’ yang penuh dengan pluralisme
dan multikulturalisme yang mengakibatkan rezim otoriter di dunia terguling di bawah tekanan populer yang diciptakan oleh platform digital.
Revolusi digital mengulangi sejarah revolusi dunia. Kesadaran massa bangkit berkat teknologi digital yang cepat menyalurkan informasi secara masif ke masyarakat dunia dan tak terbendung. Borok elit tersingkap, kebobrokan perilaku elit terungkap, tak ada lagi penghalang. Siapapun bisa mengetahui itu asalkan mampu mengakses media sosial.
Kesadaran kritis pada massa terbentuk perlahan melalui revolusi ini. Penulis buku memakai kerangka teoritik Neo-Gramscian untuk memotret pengaruh revolusi digital pada masyarakat. Hegemoni elit dunia mulai luruh menghadapi revolusi digital.
Penulis buku ini, Eric M Fattor, adalah staf pengajar ilmu keamanan internasional dan teori politik di Colorado State University, AS. Buku yang ditulisnya ini tak melulu bicara soal kejadian-kejadian dunia usai pandemi COVID-19 mereda. Dalam lima bab ditambah pendahuluan dan kesimpulan, Eric mengurai tahap demi tahap munculnya ''Kaisarisme'', sebuah fenomena yang mengulangi sejarah ketika masa Romawi dulu Julius Caesar mengekspansi wilayah di luar Roma lalu menjadikan wilayah-wilayah tersebut sebagai koloni Kekaisaran Romawi.
Pada masa kini, semangat ''Empire'' itu bangkit kembali dalam alam bawah sadar tokoh politik dunia seperti Xi Jinping, Trump dan Putin. Kaisar abad 21 tak lagi tunggal, tapi berwujud jamak. Para kaisar hadir dalam konfigurasi baru dunia.
Ala kulli hal, fakta juga memperlihatkan bahwa monopoli hak dan otoritas kedaulatan dari para kaisar itu justru kini ditantang oleh kemampuan aktor dan kekuatan transnasional lainnya seperti pasar keuangan global dan organisasi transnasional. Selain, tentu saja, tantangan juga ditunjukkan oleh para baron teknologi canggih macam Elon Musk, Peter Thiel atau Mark Zuckenberg.
*Penulis akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
- Mengulas Kembali ''Pergerakan Merah'' Hindia Belanda
- Warga Butuh Ruang Publik yang Bebas