Kamp Pengungsian, Kamp Perlawanan

Foto dok
Foto dok

SETELAH bertahun-tahun hidup dalam kondisi mengenaskan, warga Palestina kini semakin terpuruk di tenda-tenda pengungsian. Mereka terusir dari tanah yang sudah dihuni sejak ratusan tahun. Mereka mengungsi di tenda-tenda itu. Tempat-tempat penampungan yang dipenuhi tenda untuk berteduh sudah menjadi pemandangan jamak bagi anak-anak Palestina yang sedang tumbuh-kembang.

Pandangan terhadap jatidiri Palestina sebagai pengungsi bukan saja tertuju pada mereka yang tinggal di tenda. Melainkan, orang Palestina yang jelas-jelas tinggal di wilayah Israel, kota dan desa, pun diperlakukan bak pengungsi. Dianggap tak punya kewarganegaraan. Dampaknya, mereka tak memperoleh hak dasar sebagai warga di wilayah tersebut. Itulah yang terjadi di wilayah pendudukan militer Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Begitupula orang Palestina yang harus menjadi eksil secara permanen di negara-negara sekitar. Mereka menghadapi dua pilihan. Jika tak berkewarganegaraan, maka ia menjadi warganegara kelas dua. Sembari merujuk ke karya Edward Said bertajuk ''The Question of Palestine'' (1992), penulis buku ini menggambarkan kata ''The Question'' (Pertanyaan atau Permasalahan) mengindikasikan situasi yang tak kunjung usai.

Ada kalanya, situasi mengarah pada proses perdamaian, di kala lain muncul situasi represif. Akibatnya, permasalahan selalu muncul, apalagi proses perampasan tanah oleh militer Israel sulit berhenti. Itulah kenapa kehadiran kamp pengungsian menjadi pusat perhatian masyarakat internasional saat ini, karena kamp-kamp tersebut mengindikasikan perlawanan rakyat Palestina tetap berlanjut. Mereka tak sudi beranjak dari tanah nenek-moyangnya meski bangunan-bangunan di atas tanah sudah hancur lebur digempur militer Israel.

Dan itulah inti argumen penulis, bahwa kamp-kamp pengungsian bukan hanya bermakna perlawanan terhadap perampasan tanah, namun kamp hadir menjadi saksi historis perlawanan itu sendiri. Artinya, melawan kolonialisme terhadap pemukiman merupakan perjuangan yang berat. Dimanapun kolonialisme seperti itu berlangsung. Rezim zionis Israel mempraktekkan kolonialisme semacam itu di kawasan yang diduduki militernya.  

Ditulis secara jelas lugas, buku berisi empat bab dengan pendahuluan serta diakhiri dengan ''coda'' ini penuh gambaran mutakhir kamp-kamp pengungsian di wilayah pendudukan Israel. Imaji tentang kamp pengungsi Palestina itu sesungguhnya telah hadir dalam berbagai tulisan novelis Presiden Organisasi Wilayah Yahudi, Israel Zangwill.

Ia berkebangsaan Inggris yang menjadi lokomotif gerakan zionis untuk mencari wilayah agar bisa dihuni orang Yahudi pada dekade '20an. Semula, Zangwill mendukung usulan Inggris yang menawarkan wilayah Uganda di Afrika Tuimur sebagai tanah kaum Yahudi. Zangwill orang kepercayaan Theodor Herzl, tokoh gerakan zionis internasional. Namun, pada tahun 1921, melalui tulisannya ''The Voice of Jerusalem'', Zangwill justru fokus ke wilayah Palestina.

Zangwill menyadari bahwa wilayah yang sedang dibidik gerakan Zionis internasional itu sudah dihuni penduduk Palestina. Namun, ia melihat karakter nomaden bangsa Palestina yang tak berada dalam pengaruh bangsa-bangsa Arab. Sehingga, ia beranggapan, sebagaimana kolonialis lainnya, bahwa wilayah dimana ada orang-orang nomaden bisa dikatakan sebagai wilayah kosong. Anggapan ini juga dipegang oleh para penggerak organisasi Yahudi internasional.

Sebenarnya, anggapan Zangwill pada orang Palestina sebagai pengembara yang tinggal di tenda, baik yang terkenal maupun yang tidak, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Meski demikian, perwakilan Zionis di wilayah Palestina kala itu agak ragu diidentifikasi juga berkarakter nomaden. Yang jelas, anggapan Palestina sebagai bangsa nomaden ini kemudian memperkuat organisasi Zionis internasional beraksi di lapangan. Bagi mereka, orang-orang Palestina adalah orang asing.

Akhirulkalam, buku ini memang istimewa karena melihat persoalan Palestina dari kacamata kamp pengungsi. Nasser Abourahme gurubesar di Bowdoin College, AS. Ia berpendapat bahwa kolonialisme pemukiman selalu merupakan upaya untuk menaklukkan waktu seperti halnya menaklukkan tanah. Dengan mengambil kamp pengungsi Palestina sebagai obyek utamanya, yang muncul usai pendirian Israel, Abourahme menunjukkan bagaimana kamp-kamp ini menjadi tempat utama upaya kolonial pemukiman untuk mendominasi ruang dan waktu, nmun menghadapi penolakan warga Palestina.

*Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news