Kanjeng Ratu Dalam Pusaran Pidana


Beberapa hari ini media massa online viral memberitakan fakta-fakta sidang perkara tindak pidana korupsi terdakwa Mustafa tentang adanya pemberian dana sebesar Rp1 miliar dari seorang supir saksi kepada orang yang diduga “suruhan” kanjeng ratu dalam sebuah taksi di Jakarta. Walaupun merupakan fakta sidang dan keterangannya sudah ada di BAP, tetapi KPK bergeming untuk menetapkan kanjeng ratu sebagai tersangka penerima suap, karena unsur-unsur tindak pidana suap tampak adanya.

Persoalan di atas memang kompleks dan rumit, daripada sekedar kita menuduh KPK sudah “masuk angin”, karena adanya pelemahan KPK berdasarkan UU KPK yang baru, KPK juga manusia, karena ada penyidik KPK yang terlibat pemerasan dan suap, dan sebagainya. Tetapi jawaban yang masuk akal adalah untuk menetapkan tersangka adalah harus berdasarkan 2 alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 184 UHAP dan uang diterima kanjeng ratu.

Oalah..... Itu merupakan hal yang sulit. Fakta sidang baru ada keterangan saksi (minimal harus 2 orang) sebagai alat bukti, sehingga perlu 1 alat bukti lagi. Begitu pula penerima dana bukanlah langsung kanjeng ratu, tetapi orang suruhannya yang mungkin saja mengaku-aku sebagai suruhan, sehingga uangnya mungkin tidak pernah sampai ke kanjeng ratu dan kanjeng ratu sudah bersumpah mati-matian dalam sidang bahwa ia tidak pernah menerima uang tersebut. Dengan hanya alat bukti itu saja belum cukup menetapkan tersangka atau memertanggungjawabkan pidana kanjeng ratu.

Sebenarnya ada fakta sidang lain yang lebih mudah yang tidak perlu membuktikan adanya uang yang jumlahnya miliaran, apakah kanjeng ratu terima uang atau tidak, yaitu menggunakan Pasal 21 UUTIPIKOR tentang menghalang-halangi penyidikan, ketika kanjeng ratu menyatakan dana Rp150 juta diberikan kepada Pak Slamet untuk memperbaiki kantor partai, dalam hal mana Pak Slamet tidak pernah terima, tetapi disuruh mengaku terima. Disitulah unsur-unsur Pasal 21 UUTIPIKOR telah terpenuhi.

Kalau Frederich Yunadi yang memerintahkan dr. Bimanes untuk buat medical record palsu kepala Setnov benjol sebesar telor ternyata skenarionya gagal sehingga dipidana 7 tahun penjara, skenario kanjeng ratu terhadap Pak Slamet masih aman-aman saja.

Apalagi modus operandi menggunakan orang suruhan/orang lain dalam menerima suap/gratifikasi adalah cara yang paling ampuh digunakan koruptor untuk menghindar jerat hukum pidana.

PENYERTAAN EKSTENSIF

Pertanyaan bahwa yang menerima uang Rp1 miliar adalah orang suruhan kanjeng ratu dan uangnya juga belum tentu sampai pada kanjeng ratu dapat dijawab berdasarkan Putusan MA No. 1/1955/MA.Pid tanggal 23 Desember 1955 dengan kaedah hukum penyertaan yang ekstensif yang memandang bahwa pelaku tidak hanya mereka yang melakukan perbuatan secara materiel dan mempunyai syarat persoonlijk sebagaimana dirumuskan dalam rumusan delik tetapi lebih dari itu bahwa diantara para pelaku peserta, tidak perlu harus mempunyai sifat dan karakteristik yang sama seperti dituangkan dalam rumusan delik.

Perkaranya adalah Menteri Kehakiman saat itu Djodi Gondokusumo memberikan izin tinggal kepada seorang WN Cina yang telah di persona non grata. Permintaan izin tinggal tersebut diajukan oleh WN Cina melalui 2 orang pembantu Djodi dalam satu parpol saat itu yang kebetulan tinggal bersama-sama dengan Djodi. Izin tinggal tersebut kemudian diberikan oleh Djodi atas permintaan kedua pembantunya orang satu parpol dengannya. Setelah mendapat izin tinggal WN Cina memberikan sejumlah uang kepada pembantunya.

MA memidana Djodi 6 bulan, walaupun Djodi tidak pernah menerima uang dari pembantunya. MA menganut teori penyertaan ekstensif, dalam hal ini dua atau lebih orang yang bersekutu tidak perlu mempunyai sifat dan karakter yang sama, demikian pula motivasi dan kehendak yang sama dalam mewujudkan suatu tindak pidana.

Kaedah hukum penyertaan yang ekstensif sebenarnya sampai sekarang digunakan MA dalam banyak perkara korupsi yang dalam bahasa kerennya dinamai trading in influence, misalnya dalam perkara Romahurmuzi, ketua PPP dalam kasus di Kementerian Agama dan perkara ketua DPD Imran Gusman dalam perkara pengadaan beras BULOG.

Alangkah indah dan adilnya kalau KPK mau menggunakan teori penyertaan yang ekstensif ini, karena ada payung hukum putusan MA, sehingga tidak perlu membuktikan bahwa kanjeng ratu terima uang atau tidak, tetapi mungkin ini buat pedes kuping kanjeng ratu, karena sampai saat ini ia menyangkal menerima uang tersebut.

*Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung

ikuti terus update berita rmoljatim di google news