RMOLBanten. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina
mengatakan, kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR yang
membolehkan napi korupsi untuk nyaleg kembali tidak hanya mengecewakan
KPU, tapi juga publik.
- Asuransi Wajib Ranmor Pertegas Pemerintahan Jokowi Hobi Pungut Uang Rakyat
- Indonesia Bertransformasi Jadi Negara Kleptokrasi, Mahfud MD: Mudah-mudahan Pak Prabowo Bisa Tegas
- Fahri Hamzah Menduga Panji Gumilang Produk Intelijen Asing
Urgensi larangan bekas narapidana kasus korupsi memasuki arena kontestasi elektoral, lanÂjutnya, juga berangkat dari fenomena residivis korupsi atau orang yang pernah dijatuhi hukuman dalam perkara koruÂpsi. Lalu kembali melakukan korupsi setelah selesai menjalani hukuman.
Salah satu penyebab rendahÂnya kepercayaan publik terhadap DPR adalah, banyaknya anggota legislatif yang tersangkut kasus korupsi. "KPU seharusnya tidak menyerah. Hal tersebut dikarenakan hasil atau keputusan konÂsultasi KPU dengan DPR dan pemerintah sehubungan dengan penyusunan Peraturan KPU," ujar Almas.
Putusan MK no. 92/PUU-XIV/2016, terangnya, menegasÂkan bahwa KPU adalah lembaga yang independen, khususnya dalam penyusunan Peraturan KPU. "Karena itu, kami koalisi masyarakat sipil untuk pemilu bersih mendorong KPU tetap mempertahankan larangan bekas narapidana korupsi masuk PKPU Pencalonan Pemilu Legislatif 2019," tandasnya.
Sementara Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, berÂdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, penyelenggaraan pemilu harus menerapkan prinÂsip keadilan dan kesetaraan. Karena itu, KPU berwenang mengeluarkan peraturan, agar pemilu dapat berjalan secara adil, Apalagi pileg 2019 akan dilakukan bersamaan dengan pemilihan presiden.
"Bagaimana mungkin kaÂlau tahapannya serentak tapi syaratnya dibedakan. KPU harus menjaga semangat pemilu yang adil dan tidak diskriminatif," katanya.
Sementara itu, Komisi II DPR, Bawaslu, dan Kemendagri meÂnyepakati, aturan larangan bekas napi korupsi dikembalikan peraÂturannya pada Pasal 240 Ayat 1 huruf g UU no. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Ketua Komisi II Zainudin Amali menyataÂkan, DPR beserta pemerintah dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah sepakat, agar KPU berpedoman pada UU Pemilu.
Dalam Pasal 240 Ayat 1 huruf g UU Pemilu dinyatakan, seÂorang bekas narapidana yang teÂlah menjalani masa hukuman seÂlama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri. Selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka, bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana. "Kesimpulan rapat sudah jelas. Bolanya sekarang ada di KPU," kata Amali. [dzk]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Puan Temui Luhut hingga JK, Pengamat: Golkar Berpotensi Pindah Haluan Dukung Ganjar
- PAN Bakal Sulit Naikkan Elektabilitas Meski Wiranto Gabung
- Teguh Santosa: Invasi Rusia jadi Preseden Bagi Separatisme dan Invasi Asing