DEMI meraih cita-cita, Adit, murid SDN Sawarna 3, Kecamatan Bayah, Lebak rela berjalan kaki sejauh 2,5 kilometer.
- Kunjungi Keluarga Korban KRI Nanggala-402, Bupati Tuban: Insya Allah Syahid
- Terima Bantuan dari Petani Dan Wartawan, Bupati Jember: Tindakan Nyata yang Patut Ditiru
- Bapenda Kota Malang Optimis Capai Target Rp 606 Miliar di Tahun 2022
Pagi hari itu udara sedang tidak hujan. Seperti murid yang lainnya, tampak seorang anak tergesa-gesa datang ke sekolah. Ia terlihat berjalan dengan telapak kaki polos, tanpa mengenakan sepatu, sedangkan tangan kirinya menjinjing sandal yang biasa dia pakai ketika di sekolah.
Kakinya terlihat berlumpur. Maklum, jalan yang dilalui Adit jauh dari kata layak. Dia harus melintasi jalan penuh lumpur dan terjal.
Walaupun lahir dari keluarga yang hidupnya pas-pasan, anak berusia 10 tahun yang duduk di kelas 5 SD Sawarna 3, Desa Sawarna Kecamatan Bayah, Lebak memiliki semangat yang tinggi untuk belajar.
Adit seperti tidak menghiraukan jarak yang cukup jauh antara sekolah dengan tempat tinggalnya. Dia tetap datang ke sekolah, walau cuaca tidak mendukung.
Bahkan, Adit sering datang lebih awal dibandingkan teman-temannya yang sebenarnya bertempat tinggal tidak jauh dari sekolah.
Saya setiap hari pergi pulang sekolah jalan kaki, karena buat bayar ojek tidak ada uangnya. Kadang saya dikasih jajan hanya 2.000 perak (Rp 2.000). Itu pun jarang,†tuturnya.
Bagi Adit, hujan bukan penghalang untuk datang ke sekolah tepat waktu. Daun pisang tidak jarang menjadi senjata ampuh untuk melindungi dirinya dari air hujan.
"Kalau kebetulan hujan saya tetap berangkat. Biasanya bapak ngambil daun pisang agar tidak kehujanan, yang penting saya harus tetap bisa belajar di sekolah,†ungkap Adit.
Tidak seperti murid SD pada umumnya, saat pergi dan pulang sekolah Adit terpaksa menjinjing sandal yang biasa dia kenakan. Dengan dijinjing, dia berharap sandal miliknya itu bisa lebih awet. "Biasanya kalau pulang balik ke sekolah sandal ini saya jinjing, biar awet tidak mudah rusak. Karena saya tidak punya sepatu,†ujarnya.
Adit memang pernah punya sepatu, termasuk sepatu yang merupakan pemberian dari pamannya. Namun, kondisi sepatunya sekarang sudah rusak dan harus segera diganti.
"Jadi sekarang saya pakai sandal saja setiap hari. Apalagi di sekolah ini yang pakai sandal banyak dan sekolah tidak melarang murid pakai sendal," jelasnya.
Redaksi mencoba menemani Adit pulang selepas sekolah. Kami pun harus menyusuri perjalanan yang melelahkan, karena medannya cukup menanjak dan melewati perkebunan warga dan kawasan hutan lindung.
Bagi anak kecil usia 10 tahun seperti Adit, perjalanan seperti itu penuh risiko.
"Saya kalau sudah besar punya cita-cita ingin menjadi pemain sepak bola yang bagus,†kata Adit dalam perjananan pulang.
Sesampainya di rumah, ibunda, adik dan kakak perempuannya menyambut kedatangan kami. Selanjutnya, Adit terlihat langsung menyalami ibu dan kakaknya, lalu dia langsung menaruh tas sekolah dan salin baju.
"Saya hanya ibu rumah tangga, anak saya tiga, Adit ini anak kedua. Suami saya masih bekerja sebagai buruh di lubang batubara. Nanti sebentar lagi pulang,†ujar Onah, ibunda Adit.
Selang beberapa saat, Marno, ayah Adit pun datang. Terlihat pakaiannya hitam lusuh penuh dengan noda arang hitam batu-bara. Setelah bersalaman, selanjutnya ia menceritakan tentang kehidupannya dan juga anaknya Adit.
Adit lahir dari pasangan Marno (41) dengan Onah (44). Ayahnya bekerja sebagai buruh harian lepas, sebagai buruh tambang batubara yang berada di sekitar kampungnya, yakni di blok hutan Perhutani BKPH Bayah.
Penghasilan yang didapat kedua orang tua Adit jauh dari kata mencukupi
"Saya hanya kerja buruh harian lepas, kuliari ngalobang menggali batubara. Penghasilan saya sebulan di bawah satu juta,†ujar Marno ayah Adit.
Marno yang lulusan SD hanya mengandalkaan pekerjaan kasar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
"Sebagai tamatan SD, hanya dari buruh harian saja yang bisa jadi tempat tumpuan hidup keluarga. Kalau tidak bekerja jelas kami sekeluarga tidak bisa makan,†katanya.
Marno juga menceritakan bahwa Adit ini anak yang rajin. Kalau pulang sekolah biasanya memilih menemani adiknya yang usia 6 tahun.
"Daripada main dengan teman-teman sekampung, dia lebih mendahulukan ngasuh adiknya. Padahal kami sebagai orang tua tidak membatasi Adit main,†ujarnya.
Marno pun menceritakan pula soal ketekunan Adit ketika malam menjelang tidur. Setelah magrib ia belajar ngaji. Tidak lupa, setelah itu Adit menyempatkan diri untuk membuka buku pelajaran sekolah.
"Di sini tidak ada guru ngaji, maka setiap bada magrib saya yang ajarkan ngaji sendiri ke si Adit. Kalau sudah ngaji biasanya dia langsung menghapal pelajaran sekolah dan menyiapkan pelajaran buat besoknya,†paparnya.
Di sekolah, prestasi Adit terlihat menonjol. Selain tergolong murid berprestasi, Adit termasuk orang yang rajin datang ke sekolah.
"Bahkan si Adit ini selalu datang paling duluan ke sekolah daripada teman-teman yang lain yang jarak ke sekolah dekat,†kata Aip Saripudin, salah seorang guru SDN Sawarna 3.
Begitupun perbincangan dengan guru kelas Adit, yakni Sudirja, bahwa Adit ini anak yang lumayan rajin dan cerdas. Prestasi di sekolahnya cukup gemilang. Adit adalah murid penyuka pelajaran IPA dan olah raga.
"Mungkin di antara teman sekelasnya dia paling terajin. Pagi-pagi sebelum jam 07.00 WIB, dia sudah terlihat di kelas. Selalu terlihat baca-baca pelajaran yang telah diajarkan kemarin. Dia itu sangat senang kalau pelajaran IPA dan olah raga," jelas Sudirja.
Kendati lahir dari keluarga tidak mampu, dalam pelajaran di sekolah, sosok Adit ini mampu bersaing dengan anak sekelasnya.
"Tahun kemarin Adit ini salah satu siswa kelas 5 yang diikutkan dalam lomba pelajaran saint di tingkat Kecamatan Bayah,†Pokoknya anak ini cukup berbakat besar," tutupnya. [***]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Pemkab Lamongan Berikan NIB bagi 1000 Pelaku UMKM
- Wali Kota Eri Bangga Puskesmas Sidotopo Berubah Total Setelah Kena Sidak Sebelumnya
- Jelang Pemilu 2024, Pj Bupati Bondowoso Tekankan Netralitas ASN