KERATON ketiga dibangun di delta Sungai Cibanten, pada persimpangan kanal yang sekarang bernama Banten Lama. Didirikan pada paruh pertama abad XVI, istana itu diperkenalkan dengan nama Surasowan.
Ungkapan ini dapat diartikan bahwa sesuatu yang baru dalam konstruksi keraton di Banten mulai diperkenalkan di awal berkuasanya dinasti Islam.
Selama masa keemasan Banten, Keraton Surasowan terus menjadi bahan gunjingan pelaut Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, Denmark karena kekaguman mereka pada karya arsitektur Surasowan.
Keberadaannya dalam jaringan kanal yang terkendali di muka teluk Banten yang tenang, menandai tegaknya sebuah negara berbasis Islam di jalan persilangan rempah-rempah dunia.
Dari situlah mereka mendapat alasan untuk mengenang kunjungannya ke ibukota. Kendati tak ada akses memasuki istana, mereka terus berupaya mengetahui detil desain dan tata ruang istana untuk dikenang dalam berbagai lukisan dan ilustrasi masyarakat kosmopolitan.
Banten dibayangkan seperti kota Amsterdam yang memiliki segala kualitas urbanis. Layaknya sebuah pelabuhan internasional sebelum tumbuhnya masyarakat industri di Eropa.
Tetapi sekarang, kita hanya menjumpai onggokan dinding yang terserak di sana sini, tebaran fondasi dan lantai bata serta sisa-sisa kolam dan taman yang dikelilingi benteng persegi empat panjang. Tak ada lagi saksi yang bisa menggambarkan susunan dan gaya arsitektur yang bisa menandai jiwa zamannya.
Tak ada lagi petunjuk yang dapat merefleksikan kemegahan istana, dan tak ada lagi jejak yang memungkinkan kita berandai-andai: betapa penguasa Banten telah mencurahkan seluruh energi fisik dan kekayaan untuk membangun keraton, landmark sebuah kota sekaligus menjadi simbol kedaulatan negara Banten.
Betapa tidak, kekhususan benteng Keraton Surasowan ini tetap dikenang oleh para pelaut Belanda sebagai Fort Diamant, karena denahnya menyerupai berlian berbentuk persegi enam. Tetapi mimpi orang Belanda untuk menjadikannya sebagai basis ekonomi politik harus menemui tantangan berat dari penguasa Banten. Maka bukan kebetulan kalau kemudian Belanda mengalihkan pusat perdagangan ke Batavia dan membangun perbentengan baru di pelabuhan itu.
Itulah sebabnya, mimpi tentang Fort Diamant telah diwujudkan pada perbentengan di pelabuhan Batavia yang kini lazim disebut kota inten; Oud Batavia sekarang.
Untunglah, berbagai catatan, lukisan, sketsa dan peta yang dibuat oleh para penulis Eropa belum hilang dari tumpukan arsip tua di beberapa perpustakaan Leiden, Lisabon, Paris, London dan Denmark. Sejumlah lukisan tua tentang kehidupan masyarakat urban di kota Banten telah mengindikasikan betapa gaung kebesaran Banten telah sampai ke ujung utara Eropa Barat seperti Perancis, Belanda, Inggris dan bahkan sejauh negara-negara Skandinavia.
Penulis adalah anggota Banten Heritage
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- IKN dan Otot Politik
- Rp 15.500
- Aceh 1000K