Ketika Barcode Jadi Ancaman Geopolitik

Quick Response Indonesian Standard/Ist
Quick Response Indonesian Standard/Ist

DI sebuah negeri jauh bernama Indonesia, lahirlah sebuah sistem pembayaran bernama QRIS -- Quick Response Indonesian Standard. Sebuah inovasi sederhana yang memungkinkan warga membeli cilok, nasi padang, bahkan parfum isi ulang dengan cara men-scan barcode dari aplikasi di ponsel. Terobosan ini tampaknya begitu lokal, begitu sepele, dan sangat Indonesia. 

Tapi siapa sangka, di belahan dunia lain, tepatnya di Washington D.C., sistem ini dianggap sebagai ancaman perdagangan global oleh negara adidaya: Amerika Serikat. Iya, benar. Negeri yang lebih sibuk dengan pemilu dan penyidikan dokumen rahasia Donald Trump itu kini turut ambil pusing soal bagaimana orang Indonesia membayar gorengan di warung.

Dalam laporan National Trade Estimate (NTE) 2025, USTR (United States Trade Representative) tampak sangat kecewa karena mereka merasa “tidak dilibatkan” dalam proses pembuatan QRIS. Tentu saja, karena tak ada yang lebih penting bagi bangsa Amerika selain memastikan setiap transaksi cilok di Indonesia tetap bisa dikenai fee oleh Visa dan Mastercard.

Mari kita ajak logika minum kopi dulu. QRIS bukanlah sistem untuk transaksi ekspor-impor atau jual beli lintas benua. Ia adalah alat pembayaran domestik. Artinya: pengguna, merchant, mata uang, dan lokasi transaksinya semuanya berada dalam negeri. Ini sama seperti Amerika bikin kartu SNAP buat warganya, lalu Indonesia tiba-tiba protes, “Kok kami gak diajak rapat?”

Tapi inilah dunia, Bung. Dunia di mana dominasi dolar dan jaringan pembayaran global dianggap sebagai hak ilahiah yang tak boleh diganggu, apalagi oleh barcode lokal dari negara berkembang. Maka ketika QRIS muncul tanpa memberi ruang pada perusahaan-perusahaan AS untuk nimbrung, Washington langsung merasa “dikhianati”.

Tentu kita paham: di balik dalih keterbukaan perdagangan, ada selimut kepentingan ekonomi. Visa dan Mastercard selama ini menikmati posisi hegemonik dalam sistem pembayaran global. Mereka tak hanya menguasai jalur transaksi, tetapi juga memotong persentase dari setiap gerakan uang. Artinya, setiap sedotan kopi yang dibayar via kartu asing, sebagian keuntungannya terbang ke Wall Street.

Lalu muncul QRIS. Ia tak hanya gratis biaya transaksi bagi UMKM, tetapi juga mengganggu aliran dolar kecil-kecilan yang selama ini dianggap biasa. Lebih buruk lagi (bagi mereka), QRIS kini sudah lintas batas. Bayangkan: turis dari Singapura bisa bayar sate padang di Bali cukup dengan aplikasi dompet digital lokal mereka  --tanpa sentuhan sistem pembayaran asing.

QRIS hingga kini digunakan oleh lebih dari 26 juta merchant, dan telah menjadi salah satu infrastruktur pembayaran nontunai paling masif di Asia Tenggara. Dengan perluasan ke delapan negara Asia, QRIS bukan hanya simbol efisiensi, tapi juga diplomasi digital.

Tentu saja, ini adalah bencana (bagi mereka yang selama ini hidup dari komisi sistemik itu). Lucunya, pemerintah AS tak sungkan menekan Indonesia melalui jalur WTO, padahal QRIS murni urusan domestik. Mereka berkelit dengan jargon interoperability dan transparency, seolah-olah Bank Indonesia harus melapor dulu ke Federal Reserve sebelum mengatur rakyatnya.

Apakah ini bentuk baru kolonialisme digital? Apakah kemerdekaan finansial harus selalu dibayar dengan restu Silicon Valley? Ini, tentu saja, bagian dari hegemoni dan penjajahan baru.

Menariknya, ketika AS mulai menekan QRIS, gelombang dukungan dari rakyat Indonesia muncul. Tagar #QRIS membanjiri media sosial. Rakyat mulai menyadari bahwa transaksi pakai dompet digital lokal ternyata bukan cuma soal kemudahan, tapi juga perlawanan terhadap dominasi ekonomi global.

Beberapa bahkan menyebut QRIS sebagai “benteng terakhir kedaulatan finansial rakyat kecil”. Sebuah narasi yang lebih panas dari sambal pecel lele, tapi juga penuh makna.

QRIS boleh dikata contoh kecil dari bagaimana inovasi lokal bisa membuat panas kuping global. Ia membuka diskusi penting: apakah negara berkembang boleh berdikari secara teknologi? Apakah sistem pembayaran harus tunduk pada selera pasar global?

Ataukah selama mata uang kita bukan dolar, maka kita tak pernah benar-benar merdeka?

Mari kita biarkan para menteri berdiplomasi di Washington. Tapi di warung-warung, di pasar tradisional, dan di lapak kaki lima, QRIS tetap harus jadi simbol bahwa kedaulatan itu bisa dimulai dari urusan sederhana: membayar tanpa harus minta izin ke Paman Sam.

Karena, masa iya beli gorengan aja harus disetujui Gedung Putih? Semoga Indonesia tetap kukuh di jalurnya: melayani rakyat, bukan melayani tekanan.

*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al Quran

ikuti terus update berita rmoljatim di google news