Membela kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus berani mengorbankan segalanya. Mulai dari meninggalkan keluarga, harta benda, dan lainnya.
- Jelang Ramadan, Ketum PP IKA ITS Ajak Alumni untuk Berbagi
- Shelter Kedua di Ponorogo Diresmikan, Ada 74 Kamar
- Tabung Oksigen Langka di Sejumlah Daerah, Kapolres Arsya: Kabupaten Probolinggo Aman
Membela NKRI juga tak semudah membalikan telapak tangan. Pejuang kemerdekaan harus siap meninggalkan momen terpenting dalam hidupnya, termasuk momen hari pernikahan.
Adalah Mayor (Purn) Trimo (73) dan istrinya, Haryati (64) menjadi pasutri yang harus merelakan momen terpenting sepanjang hidup mereka lantaran ada tugas negara untuk perang melawan Portugis di Timor Timur pada 1975 silam.
Trimo menceritakan, saat itu ia merencanakan pernikahan dengan pujaan hatinya tersebut pada 18 Desember 1975 di Ungaran. Tempat itu adalah asrama bagi TNI pembela kemerdekaan RI.
"Rencana nikah saya itu pada 18 Desember 1975. Namun saat genting, ada perintah untuk segera perang melawan Portugis. Akhirnya, pernikahan itu saya ajukan pada tanggal 4 Desember 1975," kata Trimo sembari mengingat masa perjuangan.
Setelah menikah, pria asal Desa Sidorekso Kecamatan Kaliwungu, Kudus, ini pun berencana berfoto bersama untuk dokumentasi pernikahan. Hanya saja, pada malam saat itu sekitar pukul 19.00 WIB alarm tentara sudah berbunyi dan harus memberangkatkan para TNI untuk segera terbang ke Timor Timur.
"Pernikahannya pada siang hari sudah usai. Namun saat itu saya tak sempat foto, mengabadikan pernikahan itu lantaran kita harus kumpul dan berangkat perang. Ya tak sempat bulan madu jika bahasa saat ini," ungkapnya, dikutip Kantor Berita RMOLJateng, Jumat (10/11).
Pria yang kini menetap di Desa Pamotan Kecamatan Pamotan ini, langsung meninggalkan ramainya pesta pernikahan menuju Markas Batalyon 401 Banteng Raiders (BR) Semarang untuk segera berangkat perang.
"Setelah berkumpul beserta 650-an tentara, lalu kita berangkat pada 4 Desember 1975 malam atau sekitar pukul 8 malam," tuturnya.
Sesampainya di Timor Timur, selama 9 bulan ia beserta rekannya dapat merebut kembali lapangan terbang Bau Kau Timor Timur yang semula dikuasai oleh Portugis.
"Alhamdulillah, dengan jerih payah taruhan nyawa dan meninggalkan keluarga, akhirnya dapat merebut lapangan terbang tersebut dan mengusir Portugis," ujarnya.
"Yang paling penting pemuda sekarang harus kuat menghadapi terpaan. Dan jangan bersantai santai bila tak mau dijajah. Baik secara fisik maupun pemikiran," harapnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Silaturahmi ke Grahadi, Ulama Besar Syeikh Fadhil Hadiahkan 6 Jilid Kitab Tafsir
- Bulan Ramadan, Pemkot Surabaya Gelar Gerakan Pangan Murah dan Pasar Murah, Catat Tanggalnya!
- Tinjau Pos PAM, Forkopimda Surabaya Bagikan Sembako untuk Petugas Gabungan