Kota, Big Data dan Akal Imitasi

Foto dok
Foto dok

KOTA telah berusia 4000 tahun. Ia hadir sebagai tempat bagi orang, barang dan jasa, untuk dipertukarkan, diperdagangkan atau jual-beli. Ketika perbudakan masih marak, kota adalah tempat untuk memperoleh budak karena budak menjadi komoditi perdagangan. Saat perbudakan sudah dihentikan bahkan dilarang, maka traksaksi dalam kota hanya barang dan jasa. Kegiatan ini menuntut dinamika serta mobilitas. seperti pengangkutan barang dari satu kota ke kota lainnya, membutuhkan kendaraan.

Sebelum mesin uap ditemukan, mobilitas barang dan orang lintas kota memakai kereta kuda. Jasa pemakaian kereta kuda marak di tiap kota, meski kereta kuda juga bisa menjadi milik pribadi atau sebuah keluarga. Lalu lintas ini meningkat dan menjadi daya tarik bagi siapapun untuk singgah atau menetap di kota, sehingga kota pun berkembang. Pun wilayah pinggiran kota. Berkembang menjadi tempat hunian atau untuk kedai jualan.

Dikenalnya beragam peralatan listrik di perkotaan kemudian mendorong munculnya sarana komunikasi untuk mempermudah interaksi jarak jauh. Sarana ini menggantikan kontak langsung antar warga kota. Perkembangan pesat terjadi usai perang dunia kedua, ketika komputer ditemukan sehingga mendorong perkembangan peralatan pribadi, diantaranya telepon. Awalnya, telepon dipasang di rumah dan digunakan seluruh anggota keluarga. Belakangan, telepon menjadi barang pribadi layaknya barang pribadi lainnya.

Kehadiran telepon cerdas (smartphones) lantas mendorong kebutuhan untuk menyediakan samudera data dengan biaya rendah. Perusahaan-perusahaan telepon genggam berlomba-lomba meriset cara menyimpan data lalu memanggil kembali data secara cepat, efektif serta efisien, dengan ukuran mikro. Teknologi penyimpanan data berkembang pesat. Telepon genggam bukan sekadar menjadi alat berkomunikasi, melainkan juga menjadi sarana penyimpanan data. Mobilitas dan penyimpanan data menjadi fokus pengembangan berikutnya. Muncul teknologi ''awan'' (Cloud Technology) untuk mendukung mobilitas data dari satu tempat ke tempat lainnya.

Keinginan untuk mengelola data secara baik dan bermanfaat kemudian mendorong munculnya pengelolaan berdasar Big Data dan Artificial Intelligence) atau ''Akal Imitasi'' (AI). Data jumbo atau Big Data menjadi perhatian banyak orang pada awal abad 21. Ketika Doug Laney, seorang analis data menyebut karakteristik dari Big Data adalah 3V, yakni volume (isi), velocity (kecepatan) dan variety (keragaman). Sejak saat itu, perhatian terhadap cara mengelola data super besar terus meningkat.

Hasilnya, kota-kota pun tumbuh kian canggih dalam pengelolaan data. Misalnya, data kependudukan dari seluruh warga kota yang harus diolah sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan serta layanan warga. Data itu bukan hanya disimpan dengan baik, melainkan juga sewaktu-waktu bisa dipanggil untuk mempercepat layanan terhadap warga. Berkat penyimpanan serta pengelolaan data secara baik, maka layanan kepada warga pun juga membaik. Seperti layanan kesehatan. Data warga yang membutuhkan layanan kesehatan bisa diakses secara cepat melalui pusat-pusat layanan kesehatan, sehingga warga bisa lebih cepat memperoleh layanan itu.

Buku ini ditulis secara keroyokan. Ada 41 pakar lintas disiplin ilmu yang berkonstribusi dalam mengurai peran Big Data dan AI untuk menciptakan kota cerdas (smartcities). Sebelum abad 21, pertumbuhan kota ditentukan dari kecepatan serta ketepatan yang dikerjakan secara manual. Sangat melelahakan karena butuh ketelatenan serta kesabaran ekstra. Apalagi, pengelolaan data juga masih menggunakan cara-cara terbatas. Setelah abad 21, pengelolaan data dilakukan secara digital.

Observasi lapangan didukung pemakaian sains komputer untuk kebijakan telah ikut menyumbangkan cara-cara cepat, tepat dan akurat, dalam mengelola kota cerdas. Big Data merupakan kombinasi dari data tak terstruktur, semi-terstruktur dan terstruktur, yang kemudian diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan model-model prediktif serta analitis. Para pembuat kebijakan bisa lebih mudah dan cepat dalam merancang kebijakan untuk warga. Sedangkan pengawas pelaksanaan kebijakan bisa lebih tepat menemukan sekiranya ada kekurangan atau kelemahan dari pilihan kebijakan berdasar olahan data yang dirujuk pembuat kebijakan.

Saat ini, kajian Big Data yang lebih maju telah menggulirkan 5V, yakni volume, velocity, value (nilai), variety (keragaman) dan veracity (kebenaran). Veracity merujuk pada kualitas serta akurasi data sehingga data tersebut memang bisa dipercaya, berintegritas dan bukan hoax. Jika ada bagian dari data yang kemudian hilang, maka akurasi data layak dipertanyakan, bahkan bisa diabaikan.

Akhirulkalam, ketika kota sudah berkembang sedemikian pesat untuk melayani berbagai kebutuhan warga, maka memang dibutuhkan keterampilan pengelolaan data jumbo secara efisien, efektif dan akurat. Kita bisa menyaksikan wilayah perkotaan mungkin tetap tapi pengelolaan kota justru telah memakai cara-cara canggih yang menghasilkan kenyamanan serta keamanan warga secara lebih baik.

Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news