Krisis Identitas

B. Mario Yosryandi Sara/Ist
B. Mario Yosryandi Sara/Ist

KRISIS identitas merupakan akar terjauh dari persoalan suatu bangsa. Krisis ini bermula ketika kata kehilangan darah dan nama kehilangan makna. Persoalan ini seakan hendak menjelmakan ilham Jacques Derrida; “ketika sebuah tanda kehilangan keterhubungan dengan makna asalnya, ia hanyalah gema kosong dari kebiasaan yang diulang.”  

Dua dekade angin reformasi, rupanya telah menghadirkan salah satu istilah terpenting di pentas negeri, yaitu “politisi”. Berbilang orang dari berbagai latar, yang tidak memiliki rekam jejak di bidang politik, tiba-tiba tampil di pentas kekuasaan. 

Nyatanya, dari arus pasang kemunculan para politisi ini, kehidupan bernegara nampaknya belum berjejak dari fase pra-politik. Sebab para politisi sekarang belum sepenuhnya menjadi warga politik. 

Padahal “menjadi warga politik,” tulis Hannah Arendt, “berarti hidup di dalam suatu polis, tempat segala sesuatu diselesaikan lewat kata dan persuasi, bukan lewat paksaan dan kekerasan.” Dalam tradisi Yunani, memaksa orang lewat ancaman dinilai sebagai cara-cara yang apolitis.

 Kata politik juga merujuk pada urusan dan relasi masyarakat sebagai suatu entitas yang tak dilepas pisahkan. Sebuah keputusan akan bersifat apolitis jika diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 

Dengan demikian, politisi mestinya orang yang memuliakan dialog-dialog konsensual dan berkhidmat pada kepentingan publik. Kredonya, “my loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins.”

 Persoalannya menjadi lebih pelik, karena akhir-akhir ini para aktivis “masyarakat sipil,” juga jarang yang benar-benar menghayati perannya. Banyak yang lupa, bahwasannya kata civil mengandung arti civilized (berkeadaban). 

Faktanya, diskursus tentang masyarakat sipil di Indonesia pasca reformasi, terlalu memusat pada pengembangan institusi civil society dengan mengabaikan pelaziman civic culture. 

Yang terjadi adalah ironi berkepanjangan. Sementara kita menjadi pengkhotbah civil society, perilaku kita sendiri amat jauh dari nilai-nilai civility. Ketika represi negara perlahan meregang, ancaman kehidupan publik pun datang dari unsur-unsur masyarakat sipil, yang memaksakan kehendak dengan mengabaikan hukum. 

Apakah warga masyarakat sipil lupa, jika makna awal civil society itu sendiri (dari periode klasik hingga era pencerahan) tak lain adalah suatu law-governed state (negara di bawah kepemimpinan hukum). Terdapat juga anti-hukum (selain hukum agama) dan anti-representasi (dalam politik musuh utama civil society tak lain adalah fanatisisme, kecenderungan dan seni). 

Selain daripada itu, kaum “intelektual” yang sejak kemunculan istilah itu pada akhir abad ke-19 dinisbatkan sebagai para penjaga kebenaran, keadilan, dan rasio, kini tak lagi memijarkan terang akal budi dan nurani. Dalam sejarah intelektual Indonesia, pergeseran dari Orde Lama ke Orde Baru telah mewariskan sebuah istilah kontroversi; pelacuran intelektual. 

Ihwal seorang pelacur hanya “mengorbankan” nilainya sendiri tanpa merugikan orang lain. Akan halnya tindakan sejumlah intelektual untuk mengintervensi suatu otoritas negara dalam proses perumusan dan pelaporan statistika berpotensi melahirkan piramida korban manusia. 

Tindakan ini lebih tepat disebut “kejahatan intelektual”. Yang pada akhirnya, masyarakat urban secara keseluruhan pun tak menghayati budaya luhur perkotaan. 

Sebagaimana diketahui, dalam tradisi besar umat manusia kita temukan istilah kota (polis) dalam konotasi yang positif; keberadaban (civility), kemuliaan (nobility), dan keteraturan (order). Penjaga kehidupan kota itu sendiri bernama polisi (police). 

Masih satu rumpun dengan kata “poli” (polite), yang berarti tertib sosial atau santun berkeadaban. Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab, dan “menjadi manusia beradab,” ujar Fernand Braudel, “berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih tertib dan taat hukum (civil), maupun ramah (sociable).” 

Apa yang kita saksikan hari ini, kehidupan kota kian terjerumus ke dalam apa yang disebut Machiavelli sebagai “kota korup” (citta corrottisima). Di republik yang korup dan jahil, persahabatan madani sejati telah hancur. Tiap warga berlomba-lomba mengkhianati negerinya atau temannya; kepercayaan mutual lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum atau institusi lumpuh tak mampu meredam perluasan korupsi; yang muda malas, yang tua gatal; kedua jenis kelamin dari segala umur penuh budaya jorok. 

Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Akhirnya muncul kematian dan pengasingan, yang menggambarkan jika kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan. 

Krisis nasional ini sulit dipulihkan, karena yang kita kembangkan setiap hari bukanlah insting yang menghidupkan (eros), melainkan insting yang mematikan (thanatos). 

Setiap hari kita berlomba bunuh diri dengan mengkhianati nama dan identitas kita masing-masing. Suatu usaha national healing harus menembus ke jantung krisis identitas, yang bersumber dari keterpisahan makna dari nama. 

Setiap kita harus menanggalkan topeng kemunafikan dengan berusaha sejujurnya memenuhi tuntutan dari nama-nama kita. “My characters,” ujar novelis Edith Wharton, “always appear with their names.”

*Penulis adalah Asisten Peneliti di Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia

ikuti terus update berita rmoljatim di google news