Lebih Banyak Industri Yang Buntung- Ketimbang Untung

RMOLBanten. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) membantah pernyataan pemerintah yang mengatakan pelemahan rupiah yang tembus Rp14 ribu juga menguntungkan pengusaha dari sisi ekspor.


"Semua kena imbasnya. Kalau dihitung plus minusnya, pasti leb­ih banyak yang dirugikan. Semua sektor yang kandungan impornya tinggi pasti kena," ujar Ketua Ap­indo Hariyadi Sukamdani kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Dia mengatakan, seharus­nya pelemahan ini sudah bisa diprediksi. Namun jika dilihat dari pembentukan devisa, Indo­nesia termasuk yang agak lam­bat. Apalagi jika dibandingkan negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, atau Vietnam.

Dari segi ekspor, Hariyadi me­nyebut Negeri Gajah Putih bisa meraup 220 miliar dolar AS, dan Vietnam 215 miliar dolar AS. Se­dangkan Indonesia, jauh di bawah kedua negara itu yang hanya mam­pu mengantongi 167 dolar AS.

Bos Sahid ini menyebut, In­donesia sangat rentan terhadap gejolak global, terutama Amerika Serikat. "Kalau AS naikin Fed Rate kita pasti kena. Ekspor dan pariwisata yang sebenarnya harus diperkuat. Ketergantungan impor harus dikurangi, kita harus bisa menghasilkan sendiri," tuturnya.

Dia tidak memiliki prediksi kapan pelemahan ini berakhir. Namun, dia optimistis, masalah ini bisa teratasi karena Indonesia pernah mengalami hal serupa.

Hariyadi juga meminta, pemer­intah tetap meyakinkan pelaku usaha, khususnya investor asing bahwa negara ini masih dalam jalur yang tepat dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Berbicara pasar, maka yang harus dibentuk adalah persepsi positif.

"Kalau semua orang yakin, pelemahan ini nggak akan lebih dalam lagi, perlahan akan balik. Nantinya, tinggal dibuktikan per­tumbuhannya berapa, ekspornya seperti apa, dan bagaimana pari­wisatanya," katanya.

Dia juga yakin investor tidak akan menarik uangnya, karena Indonesia merupakan pasar yang besar. Pelemahan ini berbeda dengan krisis 1998, dimana saat itu dipicu perbankan yang tidak prudent pengelolaannya.

Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah In­donesia (Akumindo) Ikhsan In­gratubun mengungkapkan, pelaku usaha kecil mulai resah dengan pelemahan rupiah yang menem­bus 14.000. "Pelemahan rupiah bikin daya beli masyarakat menu­run, dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) banyak yang gagal bayar ke bank," katanya.

Dengan kejadan ini, Ikhsan menyebut, pendapatan UMKM terkena dampaknya. Pemasukan yang lebih sedikit dari biasanya membuat pelaku usaha teran­cam gagal bayar utang ke bank. Situasi diperparah karena tahun ini ada pesta demokrasi yang membuat investor asing mena­han diri masuk Indonesia.

Dia meminta pemerintah segera turun tangan, dan tidak mengamb­inghitamkan faktor eksternal. "Segeralah serius menangani hal ini dengan tidak menyalahkan keadaan global," pintanya.

Wakil Ketua Umum bidang Ke­bijakan Publik Hubungan Antar Lembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat mengaku khawatir jika pelemahan ini terus berlanjut. Se­bab bahan baku impor akan dibayar dengan nilai dolar AS saat ini.

Rachmat menjelaskan, idealnya nilai tukar rupiah untuk industri berbahan baku impor di kisaran Rp 12.000. Namun jika rupiah sudah menyentuh level Rp 14.000, dampak psikologis yang muncul akan menyulitkan perusahaan.

Dia berharap, pelemahan ini tidak berdampak pada harga produksi saat Ramadan. Pasalnya, perusahaan sudah mulai melaku­kan produksi untuk memenuhi kebutuhan Ramadan, satu hingga dua bulan sebelumnya.

"Kenaikan harga mungkin alternatif terakhir. Kami akan melakukan efisiensi di berbagai lini agar harga tidak naik. Karena kami paham juga harga sangat sensitif terhadap produk maka­nan dan minuman, apalagi saat bulan puasa," katanya.[RM]

ikuti terus update berita rmoljatim di google news