Logical Falacy Versus Critical Thinking

Yudha, seorang mahasiswa yang mengkritik kegiatan Dedi Mulyadi/Net
Yudha, seorang mahasiswa yang mengkritik kegiatan Dedi Mulyadi/Net

VIRALNYA teguran salah seorang mahasiswa di Kabupaten Purwakarta pada Kang Dedi Mulyadi masih menjadi perbincangan diantara mahasiswa dan masyarakat Purwakarta.

Penulis berupaya obyektif menilai dari dua perspektif yang pertama dari perspektif mahasiswa. Sang mahasiswa bernama, Yudha mendatangi Kang Dedi yang sedang membersihkan area pasar kemudian bertanya ke Kang DM tentang kewenangan dan kompetensi Kang DM sebagai anggota DPR RI.

Pertanyaan mahasiswa dijawab oleh Kang DM bahwa untuk membersihkan sampah tidak butuh kompetensi. Dalam percakapan yang saya amati Yudha tidak menolak pernyataan DM. Bagi dia itu sudah clear. Berulang kali Yudha bertanya tentang kewenangan dan tidak bertanya tentang sampah atau kebersihan.

Yudha sepakat apa yang dikatakan Kang DM tapi Yudha sama sekali tidak mengkritik DM membersihkan pasar, yang dia kritik adalah kewenangan. Dalam hal ini DM melakukan logical falacy (sesat pikir) yaitu menjawab dari sesuatu yang tidak ditanyakan. Sesat pikir seperti ini biasa disebut straw man yaitu mengalihkan jawaban dari pertanyaan.

Harusnya ketika mahasiswa bertanya tentang kewenangan dijawab dengan status DM, yaitu sebagai anggota DPR RI dan fungsi serta peran DM sebagai anggota DPR RI. Kewenangan dapat dikaitkan dengan kekuasaan dan pengaruh.

Inilah pokok pangkal persoalan yang ditanyakan mahasiswa. Kita sama-sama tahu bahwa DM memiliki kekuasaan yang kuat dan besar karena pengaruhnya tapi tidak memiliki legitimasi yaitu kewenangan.

Kewenangan dalam menggerakan aparatur negara baik satpol PP maupun Dishub dan tindakan eksekutif lainnya di Kabupaten Purwakarta. Inilah yang ditanyakan mahasiswa.

Sebagai mahasiswa dan aktivis tentu tahu bahwa DM telah melampaui kewenangan, seharusnya DM yang telah dua periode menjabat Bupati telah membangun system dan budaya kerja baik di lingkungan Pemda sehingga produktifitas dan efektivitas dapat menciptakan Purwakarta yang bersih, indah dan nyaman.

Bukannya malah mencari sensasi dan popularitas demi membangun citra diri. PEMDA yang memiliki kewenangan dalam menata pasar, kebersihan, keamanan, dan kenyamanan harus dapat digerakkan oleh sebuah system dan budaya yang baik. Inilah yang menjadi tugas pemimpin. Tugas pemimpin mengajak yang dipimpin pada tercapainya tujuan. Itulah cita-cita dan keinginan yang hendak disampaikan Yudha.

Dari perspektif lain tentang mahasiswa adalah: Mengkritik tapi kurang kritis (critical thinking). Minimal ada tiga syarat yang disebut critical thinking yaitu obyektif, sistematis dan logis. Obyek yang dituju memang tepat yaitu DM tapi konteksnya kurang tepat.

Jadinya, Kang DM menggiring tentang upaya yang telah dilakukan dirinya mulai dari pasar Plered dan Pasar Rebo. Kedua sistematika yaitu urutan/ kronologi tentang penyalahgunaan DM sebagai anggota DPR RI yang bertindak sebagai eksekutif bukan hanya pada kasus Pasar Rebo. Dan yang terakhir logika atau kesesuaian dan ketaatan pada aturan atau alur berpikir. Dalam hal ini tampaknya Yudha geumpeur karena seorang diri dan dikelilingi oleh para pejabat dan tokoh masyarakat yang mengawal DM.

Yang patut disesalkan adalah sikap dan tindakan DM yang terlihat jumawa, padahal dia itu juga dari HMI yang tentunya memiliki akses kepada yuniornya. Harusnya dapat memberikan teladan bagaimana menghadapi mereka agar merekapun dapat belajar. Bukan malah mempermalukan kampus dan lembaga tempat mahasiswa (HMI) dengan mendatangi kampus dan memperlihatkan bahwa lingkungannya kotor dan lain-lain. Ini membuka aib padahal saya yakin kalau mau pihak lainpun dapat membuka aib si pembuka aib.

Mang Asep Purwa

Penulis adalah Pengamat Sosial dan Politik di Purwakarta.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news