Lukisan Belanda, Cara Menutupi Perbudakan Keji

Foto dok
Foto dok

PADA abad ke-17, budak masih dipandang sebagai komoditi. Tak beda dari komoditi lainnya. Nilai budak setara dengan nilai barang yang bisa diperjualbelikan atau dibarter. Semakin kuat seorang budak, maka nilainya kian tinggi, dan pedagang budak selalu punya alasan kenapa budak yang dijualnya bernilai tinggi.

Orang-orang Belanda memperoleh budak dari hasil penculikan atau penipuan. Budak diculik dari hunian dimana mereka menetap di Afrika, lalu budak disekap selama berhari-hari dan diberi makan seadanya. Modus lainnya, melalui penipuan berkedok memberi lapangan pekerjaan. Makelar budak selalu tahu kebutuhan warga lokal, misalnya di Afrika, terhadap pekerjaan. Melalui rayuan, para makelar seolah menawarkan pekerjaan. Jika warga lokal berhasil dirayu, lalu warga ini akan dibawah ke tempat yang jauh, diisolasi dan diperlakukan seperti barang.

Belanda dan Inggris pada abad ke-17 merupakan dua negara pedagang budak. Peran Belanda dalam mendatangkan budak ke Amerika Utara merupakan sejarah panjang negara itu dalam perdagangan budak trans-atlantik. Para pelaut Belanda membawa budak asal Afrika untuk ditukar dengan berbagai barang kebutuhan. Mereka memperlakukan budak sangat tak manusiawi. Seperti kejadian di Teluk Chesapeake pada 1619. Para pelaut Belanda membawa anak-anak, perempuan dan para lelaki dari Angola untuk diperkerjakan sebagai budak.

Legalisasi perdagangan budak pada abad itu berjalan seiring dengan meningkatnya daya cipta para pelukis di negeri Belanda. Melalui lukisan-lukisan yang kelak kemudian dianggap sebagai maha karya yang menandai era keemasan Belanda, justru pada saat lukisan itu diproduksi di negeri tulip tersebut, penderitaan para budak nun jauh di seberang lautan tertutupi.

Para pelukis Belanda ogah menggambarkan betapa tragis perjalanan laut para budak untuk dipaksa bekerja dalam perkebunan. Entah kenapa, lukisan selama perjalanan laut hanya menggambarkan kapal-kapal jumbo. Boleh jadi, para pelukis Belanda sedang mabok laut sehingga tak sempat melukis suasana di dalam kapal yang ditumpangi. Padahal, banyak juga budak yang tewas dalam perjalanan laut akibat perlakuan tak manusiawi atau kondisi buruk dalam kapal.

Bahkan para pelukis itu juga emoh menggambarkan kekerasan, rasialisasi serta perbudakan yang sebenarnya sudah menjadi topik perbincangan di kalangan pedagang kala itu. Mereka membincang budak layaknya mereka membicarakan barang komoditi. Tanpa rasa manusiawi, tak ada kepekaan sama sekali.

Caroline Fowler, penulis buku ini, adalah direktur riset dan akademis di Clark Institute, AS. Buku ini tergolong ringkas karena hanya memuat empat bab serta pendahuluan dan kesimpulan. Namun demikian, ulasan tajam serta kedalaman data yang dirujuk Fowler, justru menjadikan buku ini sangat bermanfaat melihat bagaimana masa lalu perbudakan yang sesungguhnya telah ikut membangun kesejahteraan masyarakat Belanda.

Budak adalah properti. Termasuk saat budak dibawa dari tempat asalnya di Afrika, mereka diperlakukan sangat keji. Sebagai properti, budak mempunyai nilai jual dalam transaksi di wilayah-wilayah jauh di seberang lautan. Kehadiran para budak dalam perjalanan laut sama sekali tak memantik kepekaan inderawi para pelukis Belanda. Meski dalam sejarah genre lukisan maritim, Belanda merupakan pencetus.

Para pelukis Belanda menjadikan kapal-kapal laut mereka sebagai obyek lukisan. Fungsi lukisan ini tentu saja untuk menonjolkan keperkasaan dan kedigjayaan mereka menguasai lautan. Melalui lukisan, para pelukis sesungguhnya ikut mendorong kebangkitan watak ekspansionistik Belanda sembari menutupi perilaku nista mereka terhadap budak selama dalam perjalanan laut.

Akan tetapi, saat tiba di daratan seberang lautan, yakni benua Amerika, suasana berubah. Pelukis-pelukis Belanda, seperti Frans Janszoon Post, Albert Eckhout, dan Dirk Valkenburg, tak bisa lagi hanya melukis lanskap daratan dan perkebunan tanpa menampilkan budak. Dalam beberapa lukisan, para pelukis ini harus memperlihatkan itu. Frans Janszoon Post merupakan pelukis pertama Eropa yang melukis lanskap Amerika. Ia diundang oleh gubernur Johan Maurits van Nassau-Siegen di Brazil. Brazil saat itu diduduki Belanda. Frans Janszoon Post tiba di Brazil pada tahun 1636.  

Begitupula dengan Albert Eckhout. Ia menampilkan keanekaragaman ekspresi budak. Dalam lukisan Eckhout, budak ditampilkan secara eksotik dan berbagai gaya. Tidak menunjukkan ekspresi sedih, muram atau sedang dirundung malang. Tampilan seperti itu dalam lukisan berguna bagi para pengusaha Belanda kala itu untuk memperlihatkan bahwa mereka memperlakukan budak bak pekerja upahan yang rela bekerja di perkebunan. Eksploitasi pengusaha Belanda terhadap para budak di perkebunan hendak ditutupi dengan cara membuat lukisan gaya eksotik budak. Ini siasat Belanda.

Akhirulkalam, sejarah kolonialisme dan eksploitasi Belanda di wilayah-wilayah seberang lautan memang bersifat totalitas. Seluruh daya dikerahkan untuk menutupi penderitaan serta kehinaan yang menimpa warga jajahan, wabil khusus para budak yang didatangkan ke wilayah tersebut. Salah-satu cara adalah melalui lukisan yang manipulatif. Menutupi fakta lewat narasi dan goresan lukis.

*Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news