- Gunakan Ponsel sebagai Jembatan Makna
- Tafsir Ladang Kritis, Lumbung dan Lambung
- Ketika Barcode Jadi Ancaman Geopolitik
DI Tanah Suci, di mana setiap batu dan debu menggemakan takbir, tahmid, dan tahlil, ternyata ada pula gema lain: “Ayo, kambing murah! Diskon spesial jamaah haji!” Begitulah kurang lebih bunyi “iklan tak resmi” yang menggema di balik khusyuknya ibadah haji, terutama dalam praktik pembayaran dam.
Baru-baru ini, di sejumlah platform medsos beredar sebuah video berjudul “Membongkar Praktek Mafia Dam di Mekkah”. Video itu dibuka dengan adegan: seekor kambing diseret dengan pasrah, diiringi langit Mekkah yang merah saga menjelang maghrib. Dari kejauhan, menara jam Masjidil Haram berdiri agung, menjadi saksi bisu kebisuan nurani.
Dalam narasinya, si pembuat video yang mengaku sudah lama tinggal di Saudi Arabia, sejak 2008, membeberkan “dapur busuk” praktik pelaksanaan dam di musim haji: Para jamaah yang membayar untuk kambing dam, bisa jadi hanya mendapatkan “dam ilusi” alias kambing yang entah hidup entah sudah berubah wujud jadi sate restoran.
Bagaimana cara mafia menjalankannya? Mudah! Kalau satu kloter ada 400 jamaah, maka seharusnya ada 400 ekor kambing yang disembelih. Tapi dalam praktiknya berlaku “efisiensi maksimal,” cukup 100 ekor yang dipotong di depan mata panitia, sementara 300 ekor sisanya… hmm… raib entah ke mana.
Bahkan, daging yang ada bukan dibagikan ke mereka yang berhak, tapi malah dijual ke restoran sebagai menu “kambing muda pilihan”. Nikmatnya dobel, dosanya numpuk. Tampaknya, manajemen pengelolaan daging dam, terutama jika itu ditangani bukan oleh pemerintah, masih tidak transparan dan sulit dipertanggung-jawabkan.
Sementara itu, jamaah haji yang, dengan polos dan khusyuk bertakbir, merasa urusan dam sudah beres. Kewajiban dam seolah sudah terlaksana mulus. Padahal, di atas secarik kuitansi dam palsu, bisa jadi status haji mabrur mereka masih menggantung -- seperti kambing-kambing yang nasibnya tak jelas.
Mafia dam dan skema penipuannya pun sederhana namun jenius. Pertama, ketua kloter jamaah haji diajak “kerjasama” oleh para pedagang kambing dadakan. Harga dipasang miring, supaya ketua kloter tergoda: “Ih, murah banget. Bisa hemat buat kas kloter nih.”
Terakhir, simbolisasi pemotongan: cukup 100 kambing dipotong untuk seremoni, foto-foto, dan laporan. Sisanya? Hanya Allah dan para mafia yang tahu. Dam -- yang seharusnya bermakna Denda Atas Pelanggaran Manasik -- dalam praktik mafia ini berubah jadi singkatan: “Duit Aku Menang”.
Ada yang mengatakan, ini bukan lagi masalah individual. Dugaan keterlibatan struktural sangat kuat. Ada “uang dengar”, “uang lihat”, bahkan “uang diem” yang katanya ikut beredar.
Mungkin itulah sebabnya kenapa pemerintah Saudi sendiri pernah mengusulkan pemotongan dam dilakukan lewat lembaga resmi -- bahkan sampai membuat proyek rumah potong hewan modern. Namun, tetap saja praktik mafia musiman ini susah dibasmi. Apalagi, kontrol ketat terhadap 2-3 juta jamaah dalam waktu bersamaan itu bukan pekerjaan mudah.
Lalu, muncul diakusi, dengan dam palsu tadi apakah hajinya tetap sah? Kalau jalur haji tamattu’ itu mensyaratkan dam (QS. Al-Baqarah: 196), dan dam itu tidak benar-benar dilakukan, apakah hajinya tetap sah? Pertanyaan ini tentu mengiris hati para jamaah yang sudah begitu percaya sepenuh hati kepada petugas.
Sebagian ulama mengatakan: Kalau jamaah sudah berniat benar, membayar dam melalui orang yang dianggap amanah, maka tanggung jawab berpindah kepada orang tersebut. Namun, kalau pada akhirnya orang itu memang tidak amanah, maka orang tersebutlah yang berdosa.
Apakah ini berarti: haji jamaah itu insya Allah tetap sah? Wallahu a’lam. Ada yang mengatakan, hajinya tetap sah selama si jamaah tidak tahu-menahu soal kecurangan tersebut. Masalahnya, betul si mafia telah berdosa atau menanggung dosa, tapi bukankah syarat pemenuhan sahnya ibadah haji belum terpenuhi.
Jadi, tetapi tetap saja, ini bukan perkara sepele. Ini soal integritas ibadah di Tanah Suci. Bukan tentang kambing semata, tetapi tentang nilai amanah yang terkoyak, di tempat yang seharusnya menjadi simbol puncak kejujuran dan kesucian.
Melihat kondisi tadi, beberapa pihak sampai mengusulkan: mengapa tidak potong dam di Indonesia saja? Bayangkan: kambing lokal laku, peternak kecil diuntungkan, distribusi daging bisa untuk fakir miskin negeri sendiri, dan yang lebih penting -- potongnya jelas, tidak pakai tipu-tipu.
Namun, kendala fiqh menyergap: mayoritas ulama berpendapat dam wajib disembelih di tanah haram (Mekkah dan sekitarnya). Kalau dipotong di Indonesia, kata para ulama, jatuhnya bukan dam, tapi sedekah biasa.
Solusi tengah yang realistis mungkin adalah: Pemerintah RI bernegosiasi dengan pemerintah Saudi Arabia agar urusan dam dikawal lembaga resmi (semacam “Badan Resmi Dam Haji Internasional”).
Dam bisa dilakukan lewat sistem kupon digital dengan audit ketat. Setiap jamaah menerima bukti penyembelihan (sertifikat + foto + video), bukan hanya kuitansi abal-abal. Bukankah pemerintah Saudi sudah memiliki aplikasi perhajian yang lengkap.
Masalah mafia dam perlu kita suarakan. Karena, jamaah haji datang ke Tanah Suci membawa harapan: pulang membawa mabrur, bukan membawa gelar “jamaah tertipu dam.”
Maka, wajib bagi pemerintah dan seluruh pihak terkait untuk memperbaiki sistem ini: jangan biarkan kesucian ibadah ternoda oleh kerakusan seharga seekor kambing.
Karena kambing mungkin bisa berlari, tapi dosa tidak bisa kabur. Ia menempel, menunggu dibalas, di dunia atau di akhirat. Semoga kelak, haji kita benar-benar suci: bukan hanya di pakaian, tapi juga di dompet dan di hati.
*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al Quran
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Gunakan Ponsel sebagai Jembatan Makna
- Tafsir Ladang Kritis, Lumbung dan Lambung
- Ketika Barcode Jadi Ancaman Geopolitik