Mampukah Kita Menarik Investor, Bersaing dengan Vietnam?

Bendera Indonesia dan bendera Vietnam/Ist
Bendera Indonesia dan bendera Vietnam/Ist

BEBERAPA tahun ini kita sering mendengar para pengusaha membandingkan Indonesia dan Vietnam. Bahkan beberapa perusahaan yang tutup di Indonesia katanya pindah ke Vietnam.  

Investor dan pebisnis semakin melirik negara Vietnam sebagai tempat untuk berusaha. Beragam peraturan dan insentif yang menguntungkan menjadi faktor dan alasan utama investor menanamkan modal di sana.

Konon berbisnis di Vietnam merupakan hal yang menjanjikan dan stabil, karena dapat memberikan return yang positif. 

Hal ini ditengarai karena beberapa faktor, seperti pertumbuhan ekonomi yang pesat, tenaga kerja yang terampil dengan pendidikan yang baik, lokasi yang strategis, hingga berbagai kebijakan dan dukungan pemerintah serta insentif yang ditawarkan tampak sangat menggiurkan bagi pebisnis.

Beberapa tahun belakangan Vietnam cukup menonjol sebagai pasar yang dinamis dan terus berkembang, menawarkan prospek menjanjikan bagi mereka yang ingin memanfaatkan peluang bisnis yang beragam. 

Sepanjang 2024, Investasi Asing Langsung/FDI meningkat 9,4 persen menjadi 25,35 miliar dolar AS. Jumlah ini melesat 171 persen dalam 10 tahun atau pada 2024 (9,2 miliar dolar AS).

Makin hari rasanya kita makin tertinggal dengan Vietnam. Ada banyak hal yang bikin kita kalah saing mulai dari pertumbuhan ekonomi sampai investasi asing. 

Negara berpenduduk sekitar 100 juta tersebut makin menunjukkan daya saing, menjadi bintang baru Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi tahun lalu sebesar 7,09 persen. Sedangkan kita, tumbuh lebih lambat hanya 5,04 persen pada 2024, bahkan cenderung menurun 2025.

Menurut Reuters, kepala Badan Pusat Statistik (GSO) Nguyen Thi Huon, menjelaskan pertumbuhan 7,09 persen menunjukkan pemulihan Vietnam yang luar biasa dan menempatkan negara ini sebagai titik terang ekonomi regional. 

Pemulihan ekonomi negara ini semakin meningkat sepanjang tahun, dengan setiap kuartal menunjukkan perbaikan progresif. 

Sementara itu, sektor industri dan konstruksi serta sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan masing-masing berkontribusi 45,17 persen dan 5,37 persen terhadap pertumbuhan PDB negara, dengan kenaikan sebesar 8,24 persen dan 3,27 persen.

PDB Vietnam mencapai lebih dari VND 11,51 kuadriliun atau sekitar 476,3 miliar dolar AS pada 2024, dengan PDB per kapita naik menjadi VND 114 juta atau sekitar 4.700 dolar AS, mencatatkan kenaikan 377 dolar AS dibandingkan tahun 2023. Ekspor berperan besar dalam mendongkrak ekonomi Vietnam. 

Sepanjang 2024 saja, ekspor Vietnam tumbuh 14,3 persen dengan nilai mencapai 405,53 miliar dolar AS. Lonjakan ekspor tersebut didorong oleh penjualan elektronik, handphone, baju dan produk pertanian. 

Investasi Vietnam juga tumbuh pesat dengan derasnya aliran modal asing. Investasi langsung 2024 meningkat 9,4 persen menjadi 25,35 miliar dolar AS. 

Kita pun bisa iri dengan derasnya aliran dana asing ke Vietnam, beberapa perusahaan teknologi besar pun lari ke sana membawa modal lebih banyak dibandingkan ke Indonesia.

Sebut saja Apple dan Samsung yang menempatkan investasi langsung lebih dari Rp200 triliun, sementara di Indonesia, Apple memberikan investasi Rp1,6 triliun, dan Samsung hanya Rp8 triliun, sangat berbeda jauh. 

Ada beberapa hal yang membuat minat asing rasanya lebih tertarik masuk ke Vietnam. Misalnya melihat data dari pengenaan pajak untuk PPh badan di kita cenderung lebih tinggi hingga 25 persen. PPn juga sama, di Vietnam hanya 8 persen, tetapi di Indonesia sudah mencapai 11 persen dan 12 persen untuk barang mewah.

Di sisi lain, Indonesia juga lebih rentan terjadi korupsi, tercermin dari nilai indeks yang lebih rendah. Penegakan hukum yang lemah, akibat korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan penyelenggara negara. 

Sementara itu, soal hukuman koruptor di Vietnam bisa dibilang lebih tegas, bahkan tak segan bisa diberikan hukuman mati. Sedangkan di Indonesia hukuman koruptor rata-rata hanya dipenjara selama 6,5 tahun. Belum lagi maraknya kasus mafia hukum di Indonesia.

Menjadi alarm bahaya bagi Indonesia. Perusahaan asing kini lebih memilih membangun pabrik di Vietnam ketimbang di Indonesia. Beberapa faktor menjadi landasan investor asing di mana biaya tenaga kerja yang lebih kompetitif, indeks kemudahan berbisnis yang lebih tinggi, infrastruktur dan efisiensi biaya logistik yang lebih baik. 

Selain itu, Vietnam memiliki akses geografis yang strategis ke pasar Asia, dan kebijakan perdagangan yang lebih terbuka.

Hal yang bukan menjadi rahasia umum juga adalah di mana keresahan para kalangan pengusaha atas maraknya pungutan liar (pungli) yang dilakukan kalangan ormas di berbagai proyek di Indonesia. 

Bahkan pemerasan Tunjangan Hari Raya (THR) yang diajukan oleh beberapa ormas ke perusahaan mendorong kekhawatiran para investor asing enggan berinvestasi lagi di Indonesia.

Bahkan baru saja terdapat kabar yang masih hangat, dimana PT Yihong Novatex Indonesia melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 1.126 buruh. 

Perusahaan yang bergerak di industri tekstil dan alas kaki ini, membeberkan alasan PHK terhadap 1.126 buruh tersebut. Hal ini disebabkan karena pemberi pekerjaan menarik dan menghentikan pesanan (order) akibat keterlambatan pengiriman. 

Ini akibat dari mogok kerja yang dilakukan pekerja pada tanggal 30 Januari sampai dengan 1 Februari 2025 yang berdampak pada perusahaan diberikan peringatan lampu kuning oleh pemberi pekerjaan. Kabar ini pun menjadi kabar buruk bagi calon investor asing yang akan berinvestasi di Indonesia.

Berita yang terbaru, LEGO Group secara resmi membuka pabrik canggih di Provinsi Binh Duong, Vietnam selatan pada 9 April 2025. LEGO Manufacturing Vietnam merupakan pabrik keenam perusahaan di seluruh dunia dan kedua di Asia. 

Melansir Vietnam News pada Selasa 15 April 2025, pabrik canggih tersebut bernilai 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp16,8 triliun. Memiliki luas 44 hektare ini merupakan pabrik LEGO Group yang paling ramah lingkungan. Pembukaan pabrik tersebut merupakan hasil kerja sama antara Vietnam dan Denmark. Kerja sama kedua negara ini menunjukkan semangat membangun masa depan bersama.

Pemerintah Vietnam bertekad untuk mengembangkan ekonomi secara paralel dengan melindungi lingkungan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Vietnam memprioritaskan untuk menarik teknologi canggih berkualitas tinggi, proyek ramah lingkungan, dan LEGO adalah model ideal untuk orientasi pembangunan tersebut.

Pabrik di Vietnam merupakan pabrik keenam LEGO di dunia. Dengan meningkatkan investasi di Vietnam, berdampak pada kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) di negara tersebut. Investasi pabrik LEGO dapat membuka banyak lapangan pekerjaan di Vietnam sehingga memberikan efek peningkatan konsumsi rumah tangga hingga pajak bagi negaranya.

Jika kita lihat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) antara Vietnam dengan Indonesia, kini Vietnam hampir membalap angka PDB Indonesia. Perekonomian Indonesia pada tahun 2024, diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku, mencapai Rp22.139,0 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp78,6 juta atau 4.670,3 dolar AS.

Sementara PDB per kapita di Vietnam pada tahun 2024 dengan harga berlaku diperkirakan sebesar 114 juta VND/orang, setara dengan 4.900 dolar AS meningkat 377 dolar AS dibandingkan tahun 2023. 

Sebagai informasi, PDB memberikan gambaran singkat tentang output ekonomi rata-rata per orang, yang dapat digunakan untuk membandingkan kinerja ekonomi dan standar hidup berbagai negara.

Di samping banyaknya perusahaan yang sudah dan akan tutup,  berencana pindah ke luar negeri, beberapa investor enggan membangun pabrik di Indonesia karena berbagai faktor. Termasuk di antaranya: rendahnya indeks investasi, kualitas SDM, regulasi yang rumit, biaya produksi yang tinggi, dan infrastruktur yang belum merata. Selain itu, ketidakpastian kebijakan dan risiko politik juga menjadi perhatian investor.

Indeks investasi dan pengembangan SDM di Indonesia masih rendah dibandingkan negara lain di ASEAN. Indeks Investasi dan Pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia pada 2024, berdasarkan laporan IMD World Talent Ranking (WTR), berada di posisi 46 dari 67 negara yang diteliti, dengan skor 53,4. 

Skor ini menunjukkan peningkatan daya saing SDM Indonesia, dengan indikator investasi dan pengembangan talenta, kesiapan SDM, serta kemampuan negara untuk menarik tenaga kerja asing. Kualitas SDM yang belum mumpuni, terutama dalam hal keterampilan yang dibutuhkan oleh industri, sangat menjadi perhatian investor.

Namun, Indonesia menempati peringkat ketiga terbaik di ASEAN, di bawah Singapura dan Malaysia, dengan skor daya saing yang lebih tinggi dibandingkan Thailand dan Filipina. Pemeringkatan WTR 2024 mempertimbangkan tiga indikator utama: tingkat investasi dan pengembangan talenta, kesiapan SDM, dan kemampuan menarik tenaga kerja asing.

Regulasi yang berbelit dan birokrasi yang rumit dapat menghambat investasi. Inkonsistensi kebijakan dan arogansi pejabat antara pemerintah pusat dan daerah juga menjadi perhatian investor. Selain itu, korupsi yang masih terjadi juga dapat mengurungkan niat investor untuk berinvestasi.

Biaya produksi di Indonesia, terutama biaya logistik, seringkali lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain. Apalagi untuk industri yang tergantung bahan baku impor, volatilitas rupiah juga menjadi beban tersendiri. Kemudian, tuntutan biaya tenaga kerja yang dianggap terlalu mahal juga menjadi faktor penghambat. 

Selain itu, infrastruktur yang belum merata dan handling arus keluar masuk (pabean) juga menyebabkan biaya logistik meningkat. Infrastruktur publik yang belum merata, seperti jalan, listrik, dan transportasi, dapat menjadi penghambat bagi perusahaan yang ingin berinvestasi. Selain itu, kualitas infrastruktur yang kurang baik juga meningkatkan biaya produksi.

Stabilitas politik yang dianggap belum meyakinkan menjadi perhatian investor. Ketidakpastian kebijakan, kurangnya proteksi dan perubahan aturan yang sering terjadi juga membuat investor enggan berinvestasi. 

Proyeksi Bank Dunia rasio utang RI 2025 naik menjadi 40,1 persen. Bahkan IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi 2025 kita sekitar 4,7 persen. 

Dalam jangka pendek, pemerintah harus mempercepat stimulus fiskal yang benar-benar efektif untuk meningkatkan daya saing industri. Untuk jangka panjang, reformasi struktural tidak bisa dihindari. 

Industri padat karya harus dijaga, industri yang berbasis nilai tambah harus diperkuat agar ekonomi tidak terus bergantung pada sektor ekstraktif dan konsumsi semata. Pendidikan dan pelatihan vokasi perlu diorientasikan ulang agar selaras dengan kebutuhan pasar kerja. 

Perbaikan dan pemulihan kepercayaan investor akibat sentimen negatif politik dan fundamental menjadi hal utama. Kepercayaan ini tidak semata kondisi ekonomi, tetapi juga kondisi politik. 

Beban pembangunan IKN dan munculnya Danantara dalam dilema. Dalam kondisi APBN yang berat Makan Bergizi Gratis (MBG) dan rencana koperasi merah putih perlu dievaluasi. Pembenahan komunikasi, konsistensi sikap dan kebijakan serta restrukturisasi kabinet gemuk dan program program yang tidak tepat sasaran harus dipangkas. 

Keberanian politik untuk mengambil langkah-langkah berani dalam menyelamatkan ekonomi sangat dibutuhkan saat ini. Tanpa itu, minat investor sulit ditingkatkan dan Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran masalah yang tak berkesudahan.

*Penulis adalah Dosen FEB Universitas Sebelas Maret

ikuti terus update berita rmoljatim di google news