- Pelajaran dari Skandal Iran-Contra
- Kota, Big Data dan Akal Imitasi
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga
SEJARAH kehadiran Islam di bumi Andalusia selalu menarik untuk diteliti. Diantara daya tarik itu dikarenakan persilangan budaya yang terjadi intens selama kekhalifahan bani Umayya berkuasa di wilayah tersebut. Sebuah persilangan yang bukan saja dijalani masyarakat Andalusia kala itu, melainkan juga terjadi di internal istana kekhalifahan di Kórdoba.
Alkisah, Ibn Ḥayyān, dalam kitabnya Muqtabis volume V menceritakan pengakuan Ṭalāl, seorang kasim istana. Kasim sebutan untuk figur penjaga ruang-ruang istana yang dihuni permaisuri dan para selir dari sultan. Di hadapan seorang ahli hukum (faqih), bernama al-Ḥasan bin Muḥammad bin Mufarrij al-Qubbashī, Ṭalāl bercerita tentang perjanjian yang terjadi antara permaisuri Fāṭima dan seorang selir sultan bernama Marjan.
Marjan awalnya beragama Nasrani. Lalu, masuk Islam dan menjadi selir sultan. Pada suatu hari, melalui pengawal, sultan memberitahu permaisurinya, Fāṭima, agar menemaninya pada malam hari. Begitu Marjan mendengar keinginan sultan, ia segera menemui Fāṭima. Marjan mengatakan kepada Fāṭima, bahwa ia ingin bersama sultan menggantikan Fāṭima. Imbalannya, Marjan bersedia membayar sejumlah uang kepada Fāṭima. Fāṭima meminta uang 10 ribu dinar, Marjan lalu memberinya 20 kantong uang dinar.
Sebagai pengikat kesepakatan, Marjan meminta Fāṭima menandatangani kontrak yang disaksikan para selir lainnya. Malam pun tiba, dan Marjan masuk ke ruang peraduan sultan Abd al-Raḥmān III. Sultan kaget karena yang masuk Marjan, bukan Fāṭima. Dan Marjan menunjukkan surat kontrak yang telah ditanda-tangani Fāṭima. Sultan tak berkutik, dan malam-malam selanjutnya pun sultan ditemani Marjan.
Berdasar sumber informasi tersebut, penulis buku ini lantas menyimpulkan bahwa Marjan bukan saja menjadi selir primadona sultan. Namun, Marjan juga merupakan ibu dari putra pertama Sultan Abd al-Raḥmān III yang bernama al-Ḥakam yang lahir pada Januari 915. Sang permaisuri, Fāṭima, memang dikabarkan juga melahirkan seorang putra mahkota, tapi baik Fāṭima maupun putranya tak dijelaskan oleh para penulis sejarah istana.
Sebaliknya, Marjān kemudian menjadi ‘Nyonya Agung’ istana, serta pelindung masjid-masjid yang mengagumkan serta yayasan-yayasan amal bagi mereka yang membutuhkan. Sementara itu, putranya mengamankan posisinya sebagai penerus takhta. Sejak usia dini, al-Ḥakam diberi perlakuan istimewa, misalnya ia tetap bertugas di istana tatkala ayahnya melakukan operasi militer, dan kemudian ia secara resmi ditunjuk sebagai putra mahkota.
Pada tahun-tahun berikutnya, nasib Al-Ḥakam juga ditentukan oleh keputusan penting lain yang diambil ayahnya. Pada awal tahun 929, tak lama setelah ulang tahun keempat belas putranya, ‘Abd al-Raḥmān III memutuskan untuk bergelar khalifah. Meskipun Dinasti Umayyah telah memerintah di Kórdoba selama lebih dari seratus tujuh puluh tahun, tidak ada satu pun penguasanya yang berani mengambil langkah penting seperti itu, yang mengangkat penguasa al-Andalus menjadi Panglima Umat Beriman (amīr al-muʼminīn), yang dianugerahi kekuasaan duniawi dan otoritas keagamaan atas seluruh masyarakat Muslim.
Gelar itu semula juga dipakai oleh para penguasa dari dinasti Abbasiyah setelah pemberontakan tahun 661 dan 750 terhadap dinasti Umayya di Damaskus. Pemberontakan sukses, lantas penguasa dinasti Abbasiyah memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Sedangkan ‘Abd al-Raḥmān I yang bergelar 'Ad Dakhil' (imigran), kakek dari ‘Abd al-Raḥmān III, melarikan diri ke Andalusia dan berhasil membangun kembali dinasti Umayya di Andalusia.
Ada sebuah gejala sosial yang bisa menjadi pelajaran. Reaksi paling keras terhadap proses perubahan sosial yang terjadi di Andalusia selama abad ke-8 dan ke-9 muncul di kalangan keturunan bangsawan Visigoth kuno. Setelah berdamai dengan para penakluk Arab, banyak dari mereka juga masuk Islam dan telah di-Arabisasi, sembari mempertahankan kekuasaan mereka atas wilayah kekuasaan yang sebelumnya diperintah oleh leluhur mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, ketika formasi sosial yang semakin urban dan terpusat secara politik terbentuk, di mana dinasti Umayyah menuntut upeti dalam jumlah yang semakin besar, kelompok Visigoth ini mulai merasa terancam. Kelompok ini biasa disebut 'muwalladūn'. Mereka membangun benteng dan merekrut warga asli di sekitar untuk menjadi serdadu. Mereka berontak karena penguasa Umayya sudah keterlaluan menetapkan pajak progresif yang terus naik tiap saat.
Situasi akhir abad 9 di Andalusia kian kisruh. Periode ini bertepatan dengan aksi muwallad paling beken sepanjang masa, ‘Umar ibn Ḥafṣūn (wafat 918). Ia seorang keturunan pribumi Andalusia yang telah masuk Islam. Ia memimpin pemberontakan dari bentengnya yang tangguh di Bobastro, di tengah pegunungan Málaga. Pemberontakan tersebut berkembang sedemikian rupa sehingga banyak pemimpin daerah lainnya, tidak hanya dari kalangan muwalladūn, tetapi juga orang Arab dan Berber, bersikap memutuskan hubungan mereka dengan Umayyah, akibatnya al-Andalus terjerumus ke dalam kekacauan politik total.
Akhirulkalam, buku berisi sepuluh bab tentang kekuasaan dinasti Umayya di Andalusia ini memberi pelajaran sejarah berharga. Selain dinasti surut akibat ulah menetapkan pajak yang terus meninggi, sumber keresahan juga dari ketidakbecusan penguasa mencermati dinamika sosial. Semoga ini benar-benar patut diingat dan tak diulangi oleh rezim manapun.
*Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Pelajaran dari Skandal Iran-Contra
- Kota, Big Data dan Akal Imitasi
- Paranoid Aktor Negara Mengawasi Warga