Meaningful Participation dalam Legislasi RUU IKN

Direktur Indonesian Parliamentary Center, Ahmad Hanafi/RMOL
Direktur Indonesian Parliamentary Center, Ahmad Hanafi/RMOL

DALAM Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terhadap UU Cipta Kerja, MK memerintahkan kepada pembentuk undang undang (DPR dan Pemerintah) untuk membentuk landasan hukum terkait metode omnibus law. 

Landasan hukum ini selanjutnya digunakan untuk perbaikan proses legislasi UU Ciptaker dengan memenuhi asas-asas pembentukan perundang-undangan, khususnya asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan bermakna (meaningful participation).

Secara legal formal perintah MK ini dapat dimaknai sebagai perintah kepada DPR untuk memperbaiki proses legislasi UU Ciptaker. Tapi, juga dapat dimaknai sebagai perintah kepada DPR untuk memperbaiki proses legislasi seluruh RUU yang sedang dibahas DPR.

Arti “bermakna” dalam meaningful participation ditujukan kepada kelompok-kelompok dalam masyarakat, bahkan seluruh anggota masyarakat yang terdampak dari pemberlakukan satu norma hukum.

Partisipasi disebut bermakna jika melibatkan mereka saat merumuskan norma-norma tersebut untuk diminta pertimbangan baik atau buruk? merugikan atau menguntungkan? adil atau tidak adil? dst. Sampai pada satu titik keseimbangan tercapai.

Meaningful participation adalah bentuk konkret keseimbangan tiga dimensi representasi politik yaitu representasi berbasis partai, representasi kepentingan berbasis asosiasi sipil dan gerakan sosial, serta partisipasi langsung. Tanpa keseimbangan ini demokrasi hanya akan menjadi arena permainan para elit (Demos:2007).

Oleh karena itu, DPR perlu memperhatikan perintah MK terkait meaningful participation di tengah pembahasan RUU Ibu Kota Negara (IKN) tanpa harus menunggu revisi UU 11/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Pasalnya, RUU IKN memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan UU Cipta Kerja: lintas sektoral dan berdampak luas kepada masyarakat.

Masih hangat di ingatan publik bahwa DPR memiliki catatan baik dalam hal kecepatan membahas RUU usulan pemerintah. Sementara, sulit untuk meletakkan dalam satu tarikan antara kecepatan dengan partisipasi yang maksimal dan lebih bermakna. Urusan pemindahan Ibukota Negara tentu bukan persoalan main-main. DPR tak perlu terburu-buru dalam membahas RUU IKN.

Untuk mencapai meaningful participation pembentuk undang-undang dituntut untuk memenuhi tiga hak asasi manusia sekaligus dalam satu tarikan nafas: right to information (hak atas informasi), right to be involved (hak untuk dilibatkan oleh individu/kelompok yang terdampak kebijakan), dan right to claim (hak untuk meminta pertanggungjawaban dan mempertanyakan atas kewajiban pembentuk undang-undang).

Right to information terwujud dalam UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Empat dari tujuh tujuan yang ingin diwujudkan oleh UU KIP berkaitan dengan partisipasi dalam kebijakan publik, yaitu: mengetahui kebijakan, mendorong partisipasi dalam kebijakan, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam kebijakan, dan mengetahui alasan kebijakan publik.  Landasan utama partisipasi masyarakat bersumber dari Informasi publik yang diumumkan secara proaktif oleh DPR.

Karena itu, DPR perlu meninjau kembali apakah penerapan UU KIP di DPR telah mampu menjawab tujuan-tujuan tersebut? Bagaimanapun, partisipasi sulit terwujud tanpa ketersediaan informasi yang lengkap dan valid.

Dalam konteks legislasi, keterbukaan tidak terbatas pada informasi persidangan legislasi semata, termasuk keterbukaan akses rapat, tata cara partisipasi publik dan pertanggungjawaban legislasi.

Right to be involved tersebar dalam sejumlah peraturan perundangan. UU MD3 dan UU 12/2011 mengatur tentang kanal dan mekanisme partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang, baik secara langsung maupun tidak langsung seperti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), kunjungan dapil, seminar, workshop dlsb.

Yang perlu dicatat, pemenuhan right to be involved tak sekedar melaksanakan prosedur partisipasi, tapi memperhitungkan siapa saja yang mungkin akan terdampak dari sebuah kebijakan, baik individu maupun kelompok.

Merekalah individu/kelompok yang diprioritaskan untuk didengar pendapatnya dan dilibatkan sejak proses hingga konsultasi dalam pengambilan keputusan terhadap pasal-pasal dalam RUU IKN dalam format sederhana: ya atau tidak.

Terakhir, partisipasi dianggap bermakna jika memenuhi right to claim. Secara sederhana, right to claim dimaknai sebagai hak untuk mempertanyakan dan meminta pertanggungjawaban DPR atas kebijakan publik yang telah mereka putuskan.

Sejauh mana aspirasi yang disampaikan melalui mekanisme partisipasi telah diakomodir dalam undang-undang yang disahkan. Publik berhak mempertanyakan pertimbangan-pertimbangan dalam pembuatan keputusan, pelaksanaan partisipasi, dan akomodasi terhadap aspirasi tertentu dibanding aspirasi yang lain dalam pasal-pasal yang disahkan.

Sejak 2019, hanya UU Mineral dan Batubara yang menyertakan kronologi pembahasan dalam dokumen resmi DPR dan dipublikasikan. Ini inisiatif yang patut diapresiasi dan perlu dikembangkan.

Sayangnya, dokumen tersebut belum didorong oleh DPR menjadi pengembangan wacana dalam sebuah forum akuntabilitas untuk memperoleh umpan balik dari masyarakat.

Ketiga rangkaian hak ini bisa dibatasi, tapi tidak bisa dikurangi. Adalah kewajiban DPR untuk memenuhi hak-hak tersebut dengan membentuk sejumlah mekanisme yang baku, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

RUU IKN adalah area strategis bagi DPR untuk memulai membangun partisipasi yang bermakna. Tanpa tindakan proaktif dari DPR untuk memenuhi right to information, right to be involved, dan right to claim, partisipasi dalam kebijakan akan sulit mencapai titik meaningful participation.

Penulis adalah Direktur Indonesian Parliamentary Center

ikuti terus update berita rmoljatim di google news