- Point of No Return: Nekat, Jokowi Pertahankan Kekuasaan dengan Segala Cara
- Patriakis Budaya Casanova: Kekuasaan, Tahta, dan Wanita
- Apa Benar Ekonomi Jateng Tumbuh Pesat di Era Ganjar?
AKHIRNYA setelah sempat tertunda satu tahun akibat pandemi Covid-19, Muktamar NU akan dilaksanakan pada tanggal 22-25 Desember 2021 di Provinsi Lampung. Muktamar NU adalah ajang tertinggi mekanisme pengambilan kebijakan selama 5 tahun dan suksesi puncuk kepemimpinan di kalangan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia itu.
Kegiatan yang akan dipusatkan di Lampung itu terbagi dalam 4 (empat) wilayah pelaksanaan. Yakni: Pondok Pesantren Darus’ Sa’adah Lampung Tengah, UIN RIL, Unila dan Universitas Malahayati. Ketiga kampus tersebut ada di kota Bandar Lampung sebagai ibu kota Provinsi Lampung.
Muktamar NU ke 34 di Lampung ini merupakan muktamar keempat yang dilaksanakan di luar pulau Jawa yaitu Banjarmasin, Palembang, Makasar dan Lampung. Selama ini muktamar NU lebih banyak dilaksanakan di Pulau Jawa meskipun berganti-ganti kota dan Provinsi.
Menariknya muktamar ke-34 Lampung ini berbeda dengan muktamar-muktamar yang lainnya, karena tidak hanya dipusatkan di satu kota saja, namun melibatkan dua wilayah yaitu kabupaten Lampung Tengah dan Kota Bandar Lampung. Maka dari itu disebut dengan muktamar lampung bukan muktamar Bandar Lampung atau Muktamar Lampung Tengah.
Dalam sejarahnya, Lampung bukanlah pertama kali menjadi tuan rumah hajatan puncak acara NU. Pada tahun 1992, Lampung telah menjadi tuan rumah Munas NU yang menghasilkan keputusan tentang perlunya metode berfikir (manhajul fikr) dalam pengambilan keputusan hukum di lingkungan Nahdlatul Ulama yang selama ini berbunyi “mauquf” (tidak ada keputusan hukumnya) karena tidak ditemukan dalam literatur klasik para kiai (baca:kitab kuning).
Dinamika Muktamar Lampung
Muktamar Lampung yang mengambil tema “Menuju satu abad NU, membangun kemandirian warga untuk perdamaian dunia” ini merupakan tema yang disatu sisi sudah lama digaungkan oleh banyak warga NU sejak Munas 1992.
Munas tersebut mencita-citakan NU sebagai ormas keagamaan mandiri. Meskipun perjalannya serba tanggung akibat pada tahun 1999 pasca bergulirnya reformasi didirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai satu-satunya partai yang lahir dari rahim NU.
Implikasi khitah 1926 yang digaungkan di Muktamar Situbondo juga menyisahkan lubang menganga yang cukup besar bagi kemandirian NU khususnya di daerah.
Fakta ini muncul akibat banyaknya pengurus NU mulai dari pengurus PWNU hingga PCNU yang juga menjabat pengurus PKB bahkan menjadi anggota legislatif.
Fenomena ini tidak hanya berpengaruh pada kebijakan pengurus PWNU dan PCNU. Salah satu kecenderungan yang muncul adalah keputusan NU lebih banyak didikte oleh partai politik (baca:PKB) dibanding memunculkan kemandirian baik secara ekonomi maupun politik.
Kemandirian NU apa mungkin?
Sejarah besar NU yang pernah menjadi partai politik di era orde lama dan kemudian menjadi marginal di era orde baru menjadikan organisasi sosial keagamaan ini tidak mudah untuk melepaskan diri dari intrik-intrik dan praktik-praktik politik transaksional baik di pusat maupun di daerah.
Pada awal tahun 1992, Gus Dur pernah mengadakan kerjasama dengan Bank Summa untuk mendirikan koperasi NU atau Bank NU. Namun karena SDM NU yang tidak siap, maka proyek tersebut menjadi tidak berbekas dan entah bagaimana kabarnya hingga saat ini.
Maka pasca muktamar Jombang mulailah digagas kemandirian NU dengan salah satunya menggandeng salah satu bank BUMN sebagai mitra dalam berbisnis pengurus NU mulai dari pusat hingga daerah.
Di beberapa wilayah sudah mulai muncul NU Mart atau sejenisnya. Selain itu, air mineral kemasan dengan lambang NU banyak dibuat dengan menggandeng perusahaan air minum yang sudah ternama.
Namun karena upaya kemandirian NU tersebut tidak dimanajemen dengan baik oleh pengurus NU mulai dari pusat hingga daerah, implikasinya keuntungan hasil berbisnis tersebut hanya sedikit atau tidak sama sekali yang masuk ke kas NU.
Hal ini juga ditambah dengan semangat atau nafsu beberapa pengurus NU yang lebih condong ke ranah politik praktis dibandingkan dengan pemberdayaan ekonomi umat menjadi warna tersendiri dalam mewujdukan kemandirian NU.
Pertanyaannya sekarang, mungkinkah kemandirian NU itu terwujud jika tidak diiringi oleh loyalitas, royalitas para pengurus NU untuk ikhlas berbuat dan mengabdi demi kebesaran NU?
Adanya Madrasah Kader NU (MKNU) sebagai salah satu syarat menjadi pengurus NU, akhirnya hanya seperti menjadi ladang berbisnis sebagian pengurus NU.
Lebih tragis lagi hanya sebagai kendaraan politik bagi beberapa warga atau individu yang ingin mendapatkan suara NU dalam hajatan politik setiap lima tahun sekali.
M. Iwan Satriawan
Penulis adalah PWNU Lampung dan Dosen Universitas Lampung
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Killing Softly
- Pernyataan Ketua MPR Manifestasi Paling Gamblang Dari Hate Speech
- Utang Biasa-biasa