Mempertahankan Warga Gaza: Perang atau Genosida?

Anak-anak Gaza/Getty Image
Anak-anak Gaza/Getty Image

"JIKA kamu netral dalam situasi ketidakadilan, kamu telah berpihak kepada penindas" (Desmond Tutu). 

Konflik antara Israel dan Palestina, khususnya di Gaza, bukan sekadar konflik biasa. Sejak Oktober 2023, eskalasi kekerasan yang terjadi telah melampaui batas nalar kemanusiaan. Ketika rumah sakit dijadikan target serangan, anak-anak dibom dalam pelukan ibunya, dan akses terhadap air serta listrik diputus untuk jutaan warga sipil — ini bukan lagi perang. Ini adalah genosida.

Narasi Perang: Alibi untuk Pembantaian?

Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza hingga Maret 2025, lebih dari 37.000 warga Palestina tewas, separuhnya adalah anak-anak dan perempuan. UNICEF menyebut krisis ini sebagai tragedi anak terbesar di abad ke-21. World Food Programme (WFP) melaporkan bahwa 100 persen populasi Gaza kini menghadapi kelaparan akut. Bayi-bayi meninggal bukan karena bom, tetapi karena dehidrasi dan gizi buruk.

Apakah ini bisa disebut perang? Atau justru kita sedang menyaksikan genosida yang disiarkan langsung di depan mata dunia?

Perebutan wilayah dan pendudukan adalah bagian dari sejarah politik umat manusia. Kekaisaran Ottoman, kolonialisme Eropa, hingga aneksasi Rusia atas Krimea adalah contohnya. Namun, dalam sistem hukum internasional modern, pendudukan yang melucuti hak-hak dasar manusia seperti hidup, tempat tinggal, dan kebebasan bergerak adalah pelanggaran serius.

Pasca Perang Enam Hari tahun 1967, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 242. Resolusi ini menuntut: Pertama, penarikan pasukan Israel dari wilayah yang diduduki. Kedua, pengakuan atas hak semua negara untuk hidup damai dalam batas-batas yang diakui, dan ketiga, penyelesaian yang adil atas masalah pengungsi Palestina.

Namun, lebih dari 50 tahun kemudian, tidak ada satu pun poin yang dijalankan secara penuh. Israel masih menduduki wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Jutaan pengungsi Palestina masih hidup tanpa kewarganegaraan, hak milik, atau jaminan kembali ke tanah asal mereka.

Situasi ini diperparah dengan kegagalan implementasi Resolusi 338 yang disahkan saat Perang Yom Kippur tahun 1973. Resolusi ini secara tegas menginstruksikan: (1) Gencatan senjata segera; (2) Implementasi penuh dari Resolusi 242; dan (3) Negosiasi damai yang adil dan berkelanjutan.

Semua ini menegaskan bahwa komunitas internasional tidak hanya gagal menegakkan keadilan, tetapi juga abai terhadap hukum yang mereka buat sendiri.

Hak Pengungsi Palestina: Resolusi yang Dilanggar

Masalah pengungsi Palestina telah menjadi luka terbuka selama lebih dari tujuh dekade. Resolusi 194 Majelis Umum PBB yang diadopsi tahun 1948 menegaskan bahwa:

"Pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup dalam damai harus diizinkan untuk melakukannya sesegera mungkin, dan kompensasi harus diberikan bagi mereka yang memilih untuk tidak kembali".

Namun, hingga hari ini, hak itu belum pernah ditegakkan. Tidak ada mekanisme nyata yang menjamin hak kembali jutaan warga Palestina. Sebaliknya, mereka ditahan dalam kamp pengungsian, dibatasi mobilitasnya, dan terus-menerus mengalami penindasan struktural.

Refleksi Hijrah: Strategi dalam Penindasan

Sejarah Islam mencatat bagaimana kaum Muslimin di Mekkah yang mengalami penindasan tidak diperintahkan untuk mati syahid di tempat. Sebaliknya, Rasulullah SAW justru memerintahkan Hijrah ke Madinah. Ini adalah strategi, bukan pelarian. Di Madinah, Rasulullah membangun masyarakat baru yang inklusif dan kuat.

Pelajaran pentingnya: menyelamatkan diri bukan berarti menyerah. Justru, itu adalah bentuk perlindungan terhadap jiwa dan upaya untuk bangkit lebih terorganisir. Ketika kondisi tidak memungkinkan untuk bertahan, berpindah bukan aib, melainkan bagian dari perjuangan yang cerdas.

Tujuan Jihad: Kemenangan, Bukan Kematian

Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya bumi Allah itu luas..." (QS. Az-Zumar: 10). Islam tidak pernah memerintahkan umatnya untuk tinggal dalam zona kematian demi mengejar mati syahid. 

Tujuan jihad adalah kemenangan, bukan kematian. Ketika warga sipil, anak-anak, dan perempuan menjadi korban karena salah tafsir terhadap jihad, maka kita sedang menodai ruh perjuangan itu sendiri.

Syahid adalah kehormatan, bukan tujuan yang dicari dengan mengorbankan rakyat sipil.

Hak untuk Bertahan atau Pergi

Setiap warga Gaza yang memilih untuk bertahan memiliki hak atas perlindungan dan perlawanan. Namun, siapa pun yang memilih untuk pergi demi keselamatan, juga berhak untuk kembali. Hak atas tanah air adalah hak asasi. Tidak ada paksaan untuk meninggalkan, tapi juga tidak ada larangan untuk pulang.

Anak-anak yang kini yatim piatu, perempuan yang trauma, dan warga sipil yang terluka memiliki hak atas perawatan, pemulihan, dan keamanan. Dunia memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menyediakan semua itu, jika masih ingin disebut beradab.

Ujian Nurani Global

Tragedi Gaza adalah ujian terhadap nurani dunia. Ketika hukum internasional, resolusi PBB, dan deklarasi HAM hanya menjadi arsip mati, maka dunia telah gagal.

"The opposite of love is not hate, it's indifference" (Elie Wiesel, penyintas Holocaust).

Gaza bukan sekadar zona konflik. Ia adalah cermin kemunafikan global: yang membela HAM tapi menutup mata pada genosida. Yang berbicara damai tapi mempersenjatai penindas.

Lebih dari itu, jika tragedi kemanusiaan ini terus dibiarkan tanpa penyelesaian yang adil dan bermartabat, ia akan menjadi bahan bakar ekstremisme di berbagai belahan dunia. Ketidakadilan yang dibiarkan, apalagi disiarkan, adalah bahan baku paling ampuh untuk melahirkan kemarahan kolektif, radikalisasi, dan balas dendam transnasional.

Sudah waktunya kita bersuara. Karena diam adalah bentuk kolaborasi dengan kejahatan.

*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub

ikuti terus update berita rmoljatim di google news